Lihat ke Halaman Asli

Tumben, Media Aman dari Ancaman Fisik Massa

Diperbarui: 18 Juni 2015   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS.com/Kiki Andi Pati)

[caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS.com/Kiki Andi Pati)"][/caption] Pada kampanye-kampanye pemilu presiden sebelumnya, media massa sering sekali mendapat ancaman dari massa. Mereka datang dengan beberapa bus berisi orang-orang yang marah. Marah karena yang berangkutan memang benar-benar marah, atau juga marah karena mereka dibayar untuk berdemo dan bermarah-marah. Tidak jarang kantor media massa menjadi sasaran amuk massa. Bahkan awak media kadang juga menjadi korban. Pemimpin redaksi beberapa kali harus meladeni mereka yang datang ke kantor untuk marah-marah tadi dan mengancam, seperti meminta iklan maaf beberapa kali di halaman depan. Yang paling riskan kalau mereka yang datang itu berlatar belakang agama. Masa kampanye pemilu presiden 2014 ini ditandai dengan satu "kecenderungan yang baik" bagi media massa. Kita tidak pernah mendengar kantor televisi atau radio diduduki massa. Kita tidak mendengar kantor salah satu koran dilempari orang. Atau, kita tidak pernah melihat beberapa bus mendatangi sebuah kantor media massa. Yang ada hanya sebatas orang mengkritik televisi ini terlalu cenderung mendukung calon nomor 1 atau nomor 2. Orang juga hanya berpersepsi koran tertentu mendukung calon tertentu. Persepsi yang belum tentu benar. Lalu kalau tersinggung, orang cukup menelepon koran yang bersangkutan untuk memberikan atau menuntut klarifikasi. Tidak ada ancaman akan men"geruduk" koran tersebut. Kecenderungan ini mungkin karena di satu sisi masyarakat kita sudah makin dewasa dan tahu bagaimana cara efektif dalam merespon sebuah pemberitaan yang dipersepsi salah atau kurang akurat. Yang kedua, peranan media sosial mungkin cukup signifikan dalam mewadahi klarifikasi berita-berita yang dipersepsi salah dari media arus utama. Mengklarifikasi di media sosial - meskipun sifatnya lebih informal - juga mungkin terasa lebih elegan daripada "menggeruduk" kantor media massa. Para pemimpin politik juga mungkin sudah makin sadar bahwa amat rugi memusuhi media massa dewasa ini. Sebab, masyarakat sendiri yang akan menilai kebenaran suatu pemberitaan di media massa berdasarkan informasi yang dapat mereka peroleh dari mana saja dan kapan saja. Para pemimpin partai tampaknya sudah jengah dengan membayar demonstran untuk mendemo media massa. Tentu saja kecenderungan ini harus kita sambut baik. Makin banyak dialog yang dilakukan antara partai politik dengan media massa, makin baik bagi rakyat, terutama rakyat pemilih. Tapi sebaliknya, media massa juga tidak pada tempatnya melakukan provokasi yang bisa menganggu konsentrasi massa partai. Pertanyaannya, apakah kecenderungan baik ini juga antara lain karena makin hadirnya media massa yang cenderung "meng-endorse" salah satu calon? Sehingga saluran klarifikasi tinggal "digerojokin" ke media massa yang bersangkutan saja. Ini antara lain karena sebagian pemimpin partai juga adalah pemilik media massa. Misalnya, TV One - diakui atau tidak - meng-endorse pasangan calon presiden No 1, sedangkan Metro TV meng-endorse pasangan No 2. Sehingga, masing-masing menganggap sudah punya saluran masing-masing? Apapun, tapi tentu sekali lagi kecenderungan sikap massa politik terhadap media massa ini patut dipelihara. Caranya, ya berbagai macam. Saya masih percaya akan kekuatan media massa yang obyektif-independen. Meski, independensi itu sendiri hari-hari ini masih saja tetap dipertanyakan banyak pihak karena persepsi kita tidaklah selalu seragam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline