Lihat ke Halaman Asli

taufik hidayat

Aktivis politik dan penggiat pendidikan

Pengorbanan Guru

Diperbarui: 26 November 2020   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wulansari.gurusiana.id

 

Oleh Taufik Hidayat

Guru, kau yang digugu dan ditiru. Jasa dan pengorbananmu luar biasa, tetapi sayang kami sering melupakannya.

Nah, untuk ikut memperingati Hari Guru Nasional yang selalu diperingati setiap tanggal 25 Nopember, aku ingin berbagi cerita tentang pengorbanan guru yang kuketahui, kudengar dan kurasakan, baik dalam posisi sebagai keluarga guru, pernah jadi guru dan kini ikut mengurusi beberapa guru. Bahwa pengorbanan guru itu luar biasa, tidak sebanding dengan penghargaan yang diterima.

Ya, aku hidup di lingkungan guru. Ayahku guru, kakekku guru, dua orang saudara kandungku guru, beberapa ponakanku juga berprofesi sebagai guru. Bahkan tetangga dan keluarga besarku banyak juga yang menjadi guru.

Sebagai anak guru, aku pernah merasakan kehidupan yang pas-pasan. Artinya berapa pun penghasilan yang diterima, itulah yang dikelola untuk menutup kebutuhan kami sekeluarga. Bukan pula berarti pasrah, sehingga ayah tidak berusaha mencari tambahan lain. Ada usaha lain, namun hasilnya tidak membuat kehidupan kami berkelebihan.

Usaha tambahan ayah adalah diktator, pembuat diktat. Baik untuk keperluan sendiri sebagai guru, maupun untuk keperluan guru-guru yang lain. Ketika orang enak tidur, ayah justru sibuk dengan mesin tik dan mesin stensilnya, sementara besok pagi harus turun mengajar.

Kadang, malam hari juga, beliau juga sibuk mencari ikan, untuk keperluan makan kami, dengan memasang rengge (jaring) maupun melunta (melempar alat semacam pukat harimau kecil) di sungai kecil dekat rumah kami. Pengorbanan ayah sungguh luar biasa untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Ayahku adalah guru tempo doeloe, sebelum era reformasi. Saat itu profesi guru bukanlah pilihan atau idaman. Hanya orang-orang tertentu yang berminat menjadi guru. Siapa yang memilih profesi itu, harus siap menjalani hidup jauh dari berkecukupan. Kini memang sedikit beda, walaupun tidak membuat para guru menjadi kaya raya.

Aku pernah menjadi guru honor pada tahun 1995-1996, di sebuah madrasah di kotaku. Madrasah tempat aku sekolah dulu. Aku sungguh merasakan bahwa, honor yang diterima jauh dari cukup untuk  hidup yang layak. Kalau penuh mengajar, bawa uang pulang ke rumah maksimal Rp. 75,000,00. Kalau sekarang mungkin nilainya sekitar Rp. 750.000,00. Kira-kira, cukupkah uang segitu untuk hidup dengan 1 istri dan 2 orang anak?

Kondisi yang kurasakan dulu, itu kini kudengar dirasakan oleh para guru honor yang mengabdi di lembaga pendidikan menengah NU di Banjarmasin, yang aku kebetulan menjadi ketua yayasannya. Hebatnya, setelah kepengurusan yayasan berjalan 5 tahun, baru ada usulan  kenaikan honor yang disampaikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline