Dalam pemahaman negara modern, kebebasan pers sering dianggap sebagai salah satu tolak ukur untuk melihat sejauh mana efektivitas demokrasi dalam suatau negara. Tugas pers sebagai penyampai informasi kepada masyarakat dapat digunakan untuk memastikan bahwa pemerintah bertindak transparan dan akuntabel dalam menjalankan pemerintahan, mendukung partisipasi dan pendidikan politik masyarakat, serta melindungi pluralitas dan hak asasi manusia. Tanpa kebebasan pers, banyak fungsi penting dari demokrasi bisa terganggu, mengarah pada pemerintahan yang kurang responsif dan lebih rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Tetapi pandangan ini nyatanya tidak terlalu sejalan dengan apa yang diajarkan dalam paham Machiavellianisme. Machiavellianisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pandangan politik yang menekankan pragmatisme, realisme, dan utilitarianisme dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Paham ini secara umum didasarkan pada buku Sang penguasa (Ill Principe) sebuah buku politik klasik yang ditulis oleh Niccolo Machiavellii. Dimana dalam hal ini kebebasan pers sering dianggap sebagai pisau bermata dua dimana pers dapat menjadi alat propaganda penguasa untuk mempermudah kekuasaannya ataupun senjata yang berpotensi untuk menyudutkan penguasa serta mengahancurkan stabilitas sebuah negara.
Dalam Machiavellianisme terdapat pemisahan terkait kekuasaan politik dan moralitas. Baginya politik dan moralitas adalah dua hal yang saling terpisah dan tidak ada hubungan satu sama lain. Di dalam politik tidak ada tempat untuk membicarakan masalah moral, hanya satu hal yang penting yaitu bagaimana meraih sukses dengan memegang kekuasaan. Machiavelli berpendapat bahwa segala usaha negara untuk mensukseskan hal ini dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala jenis kekuasaan untuk melakukan segala teknik pemanipulasian dukungan masyarakat terhadap kekuasaan yang ada.Tentu saja, dalam hal ini pers tidak lebih dari sekedar alat atau instrumen dari "pemanipulasian dukungan masyarakat terhadap kekuasaan yang ada" seperti yang disebutkan diatas.
Dalam "Sang Penguasa", Machiavelli menekankan pentingnya citra dan persepsi publik bagi seorang pemimpin. pers dapat menjadi alat yang sangat kuat dalam membentuk dan mengendalikan persepsi tersebut. Patriotisme dan nasionalisme dapat dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan tersebut. Negara/pemerintah ataupun penguasa dapat menjadikan Patriotisme dan nasionalisme sebagai dalih untuk tentang tindakan-tindakan politik yang kontroversial. Contohnya seperti negara dapat menaikan pajak oleh rakyat dimana hal itu dibarengi dengan pemberitaan oleh pers yang dapat memberikan kesan glorifikasi dan ras bangga kepada rakyat sehingga mereka memiliki pemikiran bahwasanya kenaikan pajak yang mereka rasakan ini adalah bentuk patriotsime dan nasionalisme terhadap negara.
Machievelli menunjukan apa yang mungkin berada dibalik slogan patriotsime dan nasionalisme, yakni cara-cara negara untuk membangkitkan semangat dan kebanggan rakyat dan massa yang mana memang tidak seluruhnya memahami secara mendalam kompleksitas isu-isu politik dan ekonomi suatu negara. patriotsime dan nasionalisme membantu negara untuk menyederhanakan kerumitan persoalan, memulihkan perbedaan pendapat pertentangan pedapat tentang isu-isu yang mencuat kepublik dan kemudian meniup rasa kebenaran dan kepastian bagi orang-orang yang berpikiran sederhana dan biasa.
Machiavelli juga menekankan bahwa seorang pemimpin yang efektif harus siap menggunakan tipu daya dan manipulasi jika diperlukan. Dalam konteks kebebasan pers, ini bisa berarti kontrol terhadap media, penyebaran propaganda, atau penggunaan informasi yang selektif untuk mengarahkan opini publik. Dimana pers dalam hal ini dapat dipakai sebagai alat untuk mewujudkannya. Sebagai contoh seperti hal yang sering dilakukan adalah berupa pengalihan isu dimana negara guna mengalihkan pandangan publik kepada suatu kasus atau perkara yang melibatkan negara yang mana berpotensi memberikan kesan negatif kepada negara, dapat membuat media untuk memberikan pemberitaan lain yang terkesan sensasional sehingga perhatian publik dapat dialihkan.
Machiavelli dalam buku ini juga memberika sebuah pertanyaan "apakah bagi penguasa lebih baik dicitntai atau ditakuti" dimana dalam hal ini Machiavelli menyatakan bahwa semua orang tentunya menginginkan keduanya, baik dicintai dan juga ditakuti tetapi kare sulit untuk mempertemukan keduanya maka lebih baik ditakuti daripada dicintai tetapi dengan catatan bahwa jangan sampai membuat dirinya dibenci.
Lantas apa sebenanya hubungan antara pernyataan "lebih baik ditakuti daripada dicintai" dengan kebebasan pers?
Dalam kehidupan, mereka yang memiliki kekuasaan seringkali mudah untuk dibenci oleh mereka yang dikuasai apalagi jika mereka yang berkuasa memiliki reputasi atau sifat buruk yang dikenal oleh publik. Machiavelli memberikan berbagai contoh yang menyatakan bahwa kehancuran para kaisar mulai dari Caracalla yang begitu bengisnya melakukan pembantaian terhadap warga sipil, commodus yang bersifat kejam dan rakus layaknya binatang, hingga Maximus yang gila perang. Berbagai sifat buruk tersebut menuntun mereka ke dalam kehancuran yang mengakibatkan mereka kehilangan kekuasaan bahkan nyawa dikarenakan muncul kebencian terhadap mereka.
dalam hal ini pers adalah instrumen vital untuk menjaga kehormatan pemerintah. Dimana pers dapat memberika propagnda tentang sifat-sifat dan tindakan-timdakan terpuji yang dilakukan oleh penguasa. Penguasa yang dihormati akan sangat dihargai dan akan sulit bagi para oposisi untuk mengadakan makar atau persengkokolan guna menjatuhkan mereka.
Selain itu pers dalam hal ini dapat dipakai sebagai kontrol kritik. Dimana pihak oposisi dapat di bunuh secara karakter melalui pemberitaan yang dibuat untuk menyudutkan mereka. Sehingga mereka akan kehilangan pengaruh pada publik.
Selama beberapa abad terakhir postulat fundamental kekuasaan politik yang dikemukana oleh Niccolo Machiavellii ini telah terlihat di praktek politik berbagai negara. Dimana istilah "kebebasan pers" pada Machiavellianisme tidak lebih dari sekadar ungkapa guna mendoktrin warga negara bahwa pers bersifat netral dan dapat dipercaya. Meskipun penggunaan pers yang hanya sebagai alat menjaga stabilitas kekuasaan oleh penguasa dalam Machiavellianisme terkesan jahat, tidak bermoral atau bahkan melanggar etis, nyatanya secara teori hal terlihat cukup masuk akal dalam mewujudkan stabilitas suatu negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H