Lihat ke Halaman Asli

Utopia

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernah ada dalam hidupku di mana aku lebih banyak bermimpi daripada beraktivitas. Hari itu sepertinya imajinasi lebih bernilai daripada berbuat sesuatu. Mungkin aku sering mengingat-ingat apa yang dikatakan Einstein puluhan tahun lalu “Imajinasi adalah segalanya”.

Entahlah mungkin ini pikiran yang salah. Tapi aku punya alasan bahwa ini bukanlah sesuatu yang salah karena mimpiku ini bercerita tentang sesuatu. Yang sesuatu itu adalah tentang Indonesia yang damai, yang lebih sejahtera. Dan ia bukanlah mimpi buruk yang sering kebanyakan orang alami atau malah hanya berupa bunga tidur yang tak bernilai.

Dalam mimpiku terbentang berjuta optimisme dari seluruh rakyat Indonesia tentang kemajuan peradaban bangsanya. Kita yang berdiri hari ini hanya mengingat masa lalu sebagai pelajaran yang mendewasakan kehidupan bangsa untuk masa depan. Dan melihat masa depan dengan begitu positif dan menggairahkan sebagai harapan dan mimpi yang harus digapai. Tak ada lagi pemuda-pemudi patah hati dan berniat bunuh diri karena cinta yang tersakiti. Yang ada hanyalah pemuda-pemudi dengan semangat yang masih putih dan berfikir jernih tentang masa depan. Pemuda dengan optimisme setinggi langit.

Dari segi infrastruktur, tata kota sedemikian majunya. Banyaknya ruang terbuka hijau menanadai bijaknya pembangunan yang tetap memperhatikan keberadaan lingkungan. Dan tentunya juga tetap memanusiakan manusia dan makhluk-makhluk sekitarnya. Angkutan massal sangat nyaman dan bersih karena kita rawat bersama-sama. Tak ada coretan semisal taufik was here di sudut-sudut terminal dan stasiun. Karena vandalisme seperti itu tak akan pernah berarti apa-apa. Dan takkan membuat kita ke mana-mana.

Tak perlu ada perebutan kekuasaan karena masing-masing rakyatnya tidak ambisi untuk berkuasa. Yang lebih pintar dan visioner lebih diprioritaskan untuk memimpin. Sedangkan yang lebih kuat secara fisik, rela bekerja membantu para visioner.

Kehidupan beragama sedemikian harmonisnya. Sampai-sampai kita hanya berpisah saat akan beribadah. Hubungan sosial lancar. Pasar pun ramai dengan penjual dan pembeli yang selalu tersenyum dalam transaksi jual-beli. Penjual tak perlu memberatkan timbangannya dan pembeli pun tak perlu menawar yang mencekik harga penjual.

Manusia Indonesia tak perlu lagi bekerja keras untuk mencari nafkah, karena melalui pengelolaan yang baik, pemerintah dapat mencukupi berbagai kebutuhan rakyatnya. Sandang, pangan dan papan begitu tercukupi dengan baik, bahkan terhitung berlimpah. Infrastruktur jadi sedemikian canggihnya. Pembangunan di desa menandingi majunya peradaban perkotaan tanpa harus meninggalkan kearifan lokal yang diwarisi leluhur. Orang-orang tak perlu lagi susah-susah mencari biaya untuk anaknya bersekolah karena sekolah manapun membuka lebar-lebar pintunya untuk pendidikan. Dan tak akan pernah ada cerita di mana rumah sakit yang menolak pasiennya. Koin untuk Prita hanya pernah terjadi di negeri lain. Sedang di negeri ini, koin-koin itu jadi rebutan hanya saat perayaan Tujuh Belas Agustus saja.

Tak pernah ada motif ekonomi dalam pekerjaan kita. Tak pernah ada motif “memanfaatkan” dalam hubungan pertemanan kita. Sehingga sebutan “teman makan teman” adalah istilah yang sama sekali asing di telilnga kita, yang ada justru “teman memberi makan teman”. Hubungan-hubungan kita jadi tak pernah bicara soal uang karena itu telah tercukupi dengan baik. Maka hubungan-hubungan kita hanyalah bicara soal baik atau tidak baik saja, benar atau tidak benar saja, bermanfaat atau malah merugikan orang lain.

Akhirnya dengan tulisan sederhana ini saya hanya berharap semoga hubungan-hubungan kita tak melulu terikat dengan ekonomi maupun kematerian lainnya. Dan biarlah hati dan ketulusan perilaku kitalah yang lebih mewarnai dan mendominasi. Hati yang berbicara tentang kemanfaatan hidup kita bagi orang lain. Bukan hidup yang menyusahkan orang lain.

Maka dibutuhkan seribu anak muda baik-baik untuk merubah tabiat bangsa

Yang telah berabad-abad tumbuh dalam dogma palsu peradaban

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline