Lihat ke Halaman Asli

Sepak Bola Kita dan Nasionalisme Seremonial

Diperbarui: 25 Juni 2015   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1330177406399678434

Oleh Taufikurrahman Gaoza

Pastinya tak ada yang menyangsikan, bila Sepakbola dinobatkan sebagai mainstro cabang olahraga dalam jagad atletik. Betapa tidak, penggemar sepakbola tidak pernah tersekat oleh jenis kelamin maupun usia. Baik laki-laki maupun perempuan; dari anak usia dini hingga lansia, hampir semuanya suka terhadap cabang olahraga satu ini. Juga tak mengenal waktu, bila pertandingan sepakbola sudah ditayangkan di TV berjuta pasangmata selalu siap sedia untuk terjaga dari mulai ditiupnya peluit panjang tanda kick off hingga peluit panjang tanda berakhirnya permainan. Sadar atau tidak sepakbola telah mampu mengatur jadwal tidur kita. Lebih parah lagi, sepakbola mampu menyihir penggemarnya untuk lupa sejenak dengan kondisi hidup mereka, khususnya di bidang ekonomi. Seberapapun mahalnya tiket masuk studion, para penggemar tetap berbondong-bondong meramaikan barisan antrian didepan loket penjual tiket. Tak ayal bila sepakbola kemudian kerap di kapitalisasi oleh segelintir oknum yang tengah mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Pesona sepakbola tidak hanya tersaji diatas rumput hijau persegi empat, namun memiliki kompleksitas pesona tanpa batasan ruang yang memiliki nilai sendiri bila diamati lebih jauh. Katakan saja salah satunya ada pada area tribun penonton. Ada pemandangan menarik yang tersaji dideretan orang-orang yang datang dari seluruh penjuru tanah air ini, sebuah deretan dan kerumunan manusia yang sebenarnya tengah dihiasi oleh ragam perbedaan. Luarbiasanya, perbedaan itu mampu dinetralisir dan mampu memunculkan ikatan “solidaritas” diantara penonton. Sebuah pemandangan yang merepresentasikan azaz dan konsep Bhineka Tunggal Ika yangselama ini menjadi kebanggaan bangsa ini.

Disatu sisi, cabang olahraga primadona (baca: sepakbola) harus mengalami “cacat pesona” di negara ini. Tak perlu kusebutkan siapa yang telah mempercundangi sepakbola tanah air, karena tentunya anda semua tahu apa yang menyebabkan cacat pesona tersebut, atau jangan-jangan anda juga pernah ikut serta dalam menyuarakan kritik akan hal itu.

Nasionalisme Seremonial

Ingin ku katakan, bahwa di tribun yang diduduki oleh ribuan pantat manusia penggila bola itu tengah mencerminkan apa yang selama ini terasa hilang di negeri ini, prihal yang selama ini hanya tersaji lewat meja wacana, termatangkan lewat konsep namun masih sangat tak terlihat pada tingkatan pelaksanaan. Prihal yang kebanyakan kita mengenalnya sebagai Nasionalisme.

Sepakat atau tidak, antusiasme masyarakat Indonesia dalam menonton laga timnas adalah salah satu tolok ukur kalau masyarakat Indonesia masih memiliki tingkat nasionalisme yang tinggi. Akan sangat jarang kita temukan masyarakat Indonesia memiliki semangat menyanyikan lagu Indonesia Raya dilain tempat, sekalipun itu disaat apel bendera tiap hari Senin.

Ironinya, semangat nasionalisme itu hanya mampu bertahan didalam studion. Semangat yang membara itu tidak mampu direduksi lebih lanjut dalam kehidupan sehari-hari. Konflik antar warga masih kerap terjadi di banyak sudut negeri ini. Fakta inilah yang penulis katakan sebagai Nasionalisme Seremonial.

Di pematang sawah, sembari Menanti kantuk yang tak kunjung menghinggapi mata, 02.50 Waktu DIY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline