Oleh: Taufik Derajat
Sebagaimana kita ketahui, Demokrasi dan HAM merupakan prasyarat mutlak dalam penyelenggaraan negara hukum dan tidak dapat dipisahkan. Demokrasi merupakan sistem politik yang memungkinkan adanya keseimbangan dalam kemajemukan antar suku, ras manusia, dan pelaksanaan pemerintahan negara dengan pembagian kekuasaan untuk mencegah pemerintahan yang otoriter. Negara pun bukan hanya sebagai penjaga keamanan warganya saja, melainkan juga memiliki tujuan yang harus disepakati bersama.
Setiap manusia memiliki hak asasi sejak lahir hingga akhir hayat di dunia dan itu tidak dapat dipisahkan dari setiap orang. Hak asasi juga bersifat universal, dan perlu adanya perlindungan yang lebih terhadap HAM, juga bersifat terbatas oleh hak yang dimiliki oleh individu lainnya. Untuk memahami demokrasi secara luas dan menyeluruh, maka di dalamnya harus juga memahami HAM, demikian juga sebaliknya.
Di Indonesia, prinsip dan kaidah perlindungan HAM harus berdasarkan Pancasila, karena Pancasila sebagai segala sumber hukum Indonesia yang diimplementasikan dalam kehidupan bernegara, politik, sosial kemasyarakatan yang beracuan pada keadilan, kemakmuran, materiil dan spiritual, hingga terwujudnya manusia Indonesia yang diharapkan bangsa.
Perlindungan HAM di Indonesia hingga kini masih menjadi perhatian, karena permasalahan yang belum menemukan titik temunya. Jajaran peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia seperti dibentuknya awal rezim Orde Baru yaitu peristiwa 1965, lalu ada tragedi Malari, Tanjung Priok, Semanggi, Trisakti, penghilangan paksa aktivis reformasi, pembunuhan Marsinah, pembunuhan Munir, pembunuhan wartawan Udin, kekerasan terhadap aktivis dan masyarakat sipil, serta kasus HAM lain yang masih belum terselesaikan.
Pasca Reformasi pun gelagat dari Orde Baru masih terasa dan tidak sepenuhnya hilang, justru para aktivis reformasi bertindak predatoris untuk berkuasa. Penyelesaian HAM yang dijanjikan penguasa setiap periode pemilihan, hanya menjadi buaian untuk menarik simpati dan dukungan rakyat. Semrawutnya permasalahan ini seakan menjadi citra busuk penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia yang katanya negara demokratis.
Melihat dari rentetan kasus HAM di Indonesia yang banyak dan belum menemukan titik terang, maka patut dipertanyakan, Demokrasi apa yang dipakai? Sistem demokrasi yang melindungi penguasa saja? Atau sistem demokrasi yang melindungi oligarki di negeri ini? Bangsa Indonesia memiliki kelemahan besar, terutama dalam penegakan HAM. Seperti ada perbedaan porsi hak asasi antara penguasa bangsa ini dan kalangan bawah.
Penguasa memiliki kekuatan, baik dari segi harta dan tahta, sedangkan kalangan bawah ini merupakan masyarakat yang dianggap tidak memiliki hak asasi atas dirinya hingga timbul kesenjangan sosial di bangsa ini. Padahal Demokrasi dan HAM merupakan cerminan yang sesuai dengan mandat Pancasila pada sila ke-2 "Kemanusiaan yang adil dan beradab", dan sila ke-5 "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Jikalau negara masih tidak menghiraukan pelanggaran-pelanggaran HAM dan isu kemanusiaan, maka tentunya hal ini bisa dikatakan kejahatan sosial, karena tidak ada tindak tegas dalam memutuskan perkara dengan adil. Salah satu kasus HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia adalah peristiwa 1965.
Saat itu terjadi Pemberontakan G30S/PKI, dan setelah usai penumpasan gerakan tersebut, PKI dan paham komunis pun dilarang di Indonesia. Terkait dengan pelarangan ini, pemerintah dan kelompok tertentu (Ormas) memburu para simpatisan PKI saat itu, lalu disiksa dan dibunuh tanpa melalui proses sidang terlebih dahulu karena dituduh sebagai simpatisan PKI. PKI memang salah, tapi membunuh sekian juta orang yang dituduh tanpa melalui sidang, tetap saja merupakan pelanggaran HAM.
Saat ini juga pelanggaran HAM kembali naik, yakni kasus HAM bagi rakyat Papua yang belum selesai, seperti diskriminasi ras, pembunuhan aktivis papua, pembatasan akses informasi, dll. Amnesty International Indonesia menemukan setidaknya 95 kasus warga Papua yang tewas ditangan aparat, antara Januari 2010 sampai saat ini. Tragedi ini terjadi ketika aparat menggunakan kekuatan yang berlebihan tanpa melalui proses hukum, misalnya ketika menangani protes damai, kerusuhan, perkelahian atau berupaya menangkap tersangka.