Lihat ke Halaman Asli

Taufik Alamsyah

Seorang tenaga pengajar

Linkin Park, Lanskap Instrumen Kehidupan Saya

Diperbarui: 3 Desember 2024   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok. James Minchin III)

Linkin Park bukan sekadar band bagi saya; mereka adalah suara yang menemani perjalanan hidup ini, sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Sejak kelas 3 SD, saya mulai jatuh cinta pada musik mereka, menghafal lirik-liriknya, terutama lagu In the End yang seakan menjadi soundtrack kehidupan saya. Lirik-lirik mereka adalah cermin, memantulkan bayangan diri yang sering kali terabaikan, mengajarkan bahwa di tengah kerumitan dunia, ada ruang untuk bangkit, untuk berjuang, dan untuk menjadi lebih baik.

Linkin Park adalah sebuah band metal dan rock alternatif dari Agoura Hills, California di Amerika Serikat, Linkin Park sudah beberapa kali berganti nama menjadi Xero, Hybrid Theory, hingga menggunakan nama Linkin Park sampai sekarang. Penamaan Linkin Park merupakan permainan dari nama sebuah taman di Los Angeles Lincoln Park, sebelum Chester Bennington menjadi vokalis Linkin Park, Mark Wakefield pertama kali menjadi vokalis namun ia meninggalkan Linkin Park untuk mencari proyek lain menjadi manajer band Taproot, kemudian menggunakan nama Hybrid Theory sementara 4 anggota lainnya Brad Delson, Mike Shinoda, Joe Hahn dan Rob Bourdon telah berada di Linkin Park sejak awal terbentuknya band

Linkin Park dikenal dengan gaya musik yang unik, memadukan nu-metal, rap rock, dan elemen elektronik. Album debut mereka, Hybrid Theory (2000), adalah suara generasi yang penuh keresahan namun sarat harapan. Lagu seperti In the End dan Crawling menjadi penyelamat bagi banyak orang, termasuk saya, yang merasa sendirian dalam perjuangan hidup. Lirik-lirik seperti, "I've put my trust in you, pushed as far as I can go," adalah pengingat bahwa kegagalan bukanlah akhir, tetapi bagian dari perjalanan menuju pertumbuhan.

Dari Hybrid Theory hingga album-album seperti Meteora, Minutes to Midnight, A Thousand Suns, Living Things, The Hunting Party, One More Light, hingga album terbaru mereka, From Zero, Linkin Park terus berevolusi tanpa kehilangan esensi mereka. Album From Zero yang dirilis pada 2024 menjadi simbol kebangkitan, berisi lagu-lagu yang menyeimbangkan nuansa emosional khas Linkin Park dengan energi baru yang dibawa oleh personil terbaru.

Tahun ini, Linkin Park memperkenalkan dua anggota baru: Emily Armstrong sebagai vokalis utama, menggantikan peran Chester, dan Colin Brittain sebagai drummer, menggantikan Rob Bourdon yang memutuskan untuk hiatus. Kehadiran mereka bukan untuk menggantikan sosok-sosok yang telah pergi, tetapi untuk melanjutkan warisan Linkin Park dengan semangat baru dan gaya terbarukan.

Banyak pengamat musik mengakui keberanian Linkin Park dalam menciptakan aliran yang hampir mustahil didefinisikan. Mereka memenangkan lebih dari 60 penghargaan, termasuk dua Grammy Awards. Lagu-lagu seperti Numb, Somewhere I Belong, Breaking the Habit, dan One More Light menjadi anthem yang abadi. Saya masih ingat bagaimana One More Light seperti pelukan hangat di saat kehilangan, dengan liriknya yang berkata, "Who cares if one more light goes out? Well, I do."

Namun, di balik semua kesuksesan, ada kehilangan yang begitu mendalam. Pada 20 Juli 2017, Chester Bennington memilih pergi. Kepergiannya adalah luka yang dirasakan oleh jutaan penggemar di seluruh dunia, termasuk saya. Chester Bennington bukan hanya seorang vokalis; ia adalah jiwa yang berbicara melalui musik. Suaranya adalah paradoks yang memukau ---lembut dan rapuh, namun mampu menghancurkan dinding emosi dengan teriakan penuh tenaga. Dalam setiap lagu, ia tidak hanya bernyanyi; ia memindahkan perasaan, dari kesedihan mendalam hingga harapan yang membara. Ketika ia menyanyikan "I'm holding on, why is everything so heavy?" dalam Heavy, kita semua merasa beban hidup itu juga milik kita. Ketika ia meraung dalam Given Up, itu adalah teriakan jiwa-jiwa yang terjebak dalam keputusasaan, mencari pelepasan.Seperti bintang yang jatuh dari langit, ia meninggalkan kekosongan, tetapi cahayanya tetap bersinar dalam setiap lirik dan nada yang ia tinggalkan. Chester adalah suara yang menenangkan di tengah badai, dan kepergiannya adalah pengingat bahwa bahkan cahaya paling terang pun bisa meredup.

Saya mengingat perjalanan pribadi saya sebagai penggemar. Pada konser pertama mereka di Pantai Karnaval Ancol tahun 2004, saya masih anak SD, terlalu kecil dan tak punya kesempatan untuk hadir. Saat mereka kembali ke Indonesia pada tahun 2011 di GBK, saya sudah besar, tetapi kantong kosong menghalangi langkah saya ke sana. Betapa pahit rasanya melewatkan dua momen besar itu, hanya bisa mendengarkan dari jauh dan berharap suatu hari mimpi itu menjadi nyata.

Saat Mike Shinoda mengadakan konser Post Traumatic, saya akhirnya bisa menonton salah satu wajah Linkin Park secara langsung. Namun, tanpa kehadiran Chester, Brad, Rob, Joe, dan Phoenix, rasanya ada yang kurang. Itu seperti melihat lukisan yang indah, tetapi warnanya tak lagi penuh.

Kematian Chester Bennington pada 2017 adalah pukulan telak bagi Linkin Park dan jutaan penggemarnya di seluruh dunia. Banyak yang bertanya-tanya apakah band ini bisa melanjutkan perjalanan mereka tanpa suara ikonik Chester, yang selama ini menjadi nyawa dalam setiap lagu. Namun, setelah jeda panjang dan refleksi mendalam, Linkin Park kembali bangkit, tidak untuk menggantikan Chester, tetapi untuk menghormati warisannya sambil membuka lembaran baru. Bergabungnya Emily Armstrong sebagai vokalis dan Colin Brittain sebagai drummer membawa dinamika segar ke dalam band ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline