Beberapa hari terakhir kita dihebohkan dengan fenomena kejadian bentrok antara rombongan oknum masyarakat dengan "knalpot bronk" dengan kelompok masyarakat dan kelompok anggota TNI. Berita ini sempat viral karena menjadi perbincangan dan berita utama dalam beberapa media sosial. Baik secara diskusi pembahasan, potongan video maupun liputan khusus dalam pembahasannya. Lebih menarik lagi karena analisa para petinggi negara mengkaitkan dengan isu netralitas TNI dalam kegiatan Pemilu yang akan kita hadapi beberapa bulan lagi.
Pengamat terbelah menjadi beberapa kelompok dalam menyikapi kejadian tersebut. Ada yang berpihak pada kelompok masyarakat yang tergabung dalam relawan salah satu Paslon, pihak TNI dan pihak pemerintah. Tanpa sadar pun masyakarat terbelah menjadi beberapa pendukung kelompok diatas sesuai dengan cara pandang, data fakta yang diperoleh maupun background knowledge. Penulis tidak ingin masuk keberpihakan pada salah satu kelompok namun lebih ingin memberikan analisa sebagai pengamat sosial di masyarakat. "Karena semuanya ada betulnya". Pertemuan cara pandang pada dasarnya ada dua kelompok besar yaitu atas nama kebudayaan, dan Pertahanan.
Terdapat kelompok yang berpandangan bahwa yang dilaksanakan masyarakat itu adalah bentuk tradisi turun temurun yang harus dijunjung tinggi. Dimana menghantarkan jenazah menuju ke tempat pemakaman dengan iring-iringan motor dan kadang ada beberapa yang masih dipengaruhi oleh efek minuman keras itu adalah bagian dari tradisi ataupun budaya. Mereka mengharapkan hal tersebut di maklumi dan dibenarkan.
Bagi kelompok yang tergabung dalam institusi TNI mendapatkan serangan tajam tentang tupoksi tentara yang tidak ada satupun menyebutkan tentang penertiban masyarakat khususnya "knalpot bronk". TNI diserang dengan pemikiran bahwa hanya bertanggung jawab pada aspek pertahanan tidak lebih daripada itu. Selain itu tindakan terhadap pengendara juga dianggap penganiayaan dan harus ditindak tegas. Bahkan, secara langsung beberapa oknum TNI yang terlibat penganiayaan juga langsung ditahan dan harus berhadapan dengan masalah hukum. Meskipun banyak masyarakat yang merindukan "aksi heroik" TNI yang berani menghentikan dan menertibkan kegiatan tersebut. Karena pada dasarnya beberapa masyarakat juga merasa terganggu kepentingannya namun tidak cukup kemampuan untuk mengatasinya.
Pembahasan Ringan
Apabila kita cari referensi definisi dari kebudayaan, hampir semua menyatakan bahwa Kebudayaan adalah hasil dari karya cipta dan rasa. Sebutlah nama; Selo Soemardjan, Koentjaraninrat, Hans Kelsen dan lain-lain mendifinisikan tentang kebudayaan adalah hal-hal yang menyangkut hasil positif dari cipta dan rasa. Sehingga apabila kebiasaan masyarakat yang sudah tidak memberikan nilai positif tentunya harus mendapatkan tinjauan untuk tidak kita pertahankan, atau paling tidak harus di modifkasi dengan nilai-nilai positif kekinian.
Di lain pihak TNI sudah sangat jelas memiliki tanggung jawab dalam hal pertahanan yaitu khususnya pertahanan NKRI dari segala ancaman baik yang datangnya dari dalam maupun luar negeri. Sehingga knalpot Bronk itu memang bukan tindakan nyata dari sebuah bentuk ancaman yang menyerang langsung pada kedaulatan bangsa dan negara. Seperti yang dilakukan oleh kelompok separatis KKB Papua tidak ada yang menggunakan knalpot sebagai alat untuk mewujudkan tujuannya. Mereka menggunakan senjata untuk upaya mencapai tujuannya. Sehingga TNI terlibat secara langsung disana. Akan tetapi, ada hal yang menarik, bahwa anggota TNI yang tidak sedang melaksanakan fungsi pertahanan pada dasarnya mereka juga masyarakat biasa yang juga berhak mendapatkan kondisi ketertiban masyarakat. Di lain pihak pada dasarnya TNI memilki jati diri sebagai tentara rakyat yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga bila tindakan penganiayaan tersebut sebagai bentuk tindakan spontan aksi reaksi yang ditimbulkan oleh sekelompok masyarakat yang mengganggu kamtibmas, maka posisi anggota TNI tersebut menjadi pribadi masyarakat yang menuntut hak nya. Karena toh mereka tidak dalam tugas perang dalam rangka fungsi pertahanan.
Adakah Value Yang Bisa Kita Ambil
Ribut-ribut ini bagaikan kegiatan menggoreng "tempe dan tahu" di atas tungku. Pada dasarnya tahu dan tempe sebelum digoreng itu tergeletak lemah dan kurang menarik di meja-meja pasar tradisional. Tapi apabila di goreng dengan bumbu-bumbu yang beraneka ragam, maka akan rame diperebutkan dan diperbincangkan masyarakat. Walaupun pada akhirnya itu adalah tahu dan tempe.
Kita bisa menilai bahwa sebenarnya keributan ini adalah masalah sosial yang dilandaskan pada "tata kelola pemerintahan daerah yang belum optimal". Jauh dari sebuah upaya disintegrasi atau kelompok bersenjata yang ingin dengan sengaja melakukan tindakan terorisme untuk memisahkan diri dari NKRI seperti yang terjadi di Papua sampai dengan saat ini. Namun, kebetulan terjadinya pada masa persiapan pesta Demokrasi, maka bumbu-bumbu racikan menjadi banyak tersebar di dunia maya. Jujur, kita bisa belajar dan melihat seberapa tinggi "tingkat keterdidikan" masyarakat Indonesia dari seberapa lama hal ini menjadi trending topic di medsos. Bila selesai dalam hitungan hari, maka secara tidak langsung masyarakat kita sudah semakin cerdas menganalisa dan mencerna fenoma yang terjadi.
Budaya Gosip sudah bertranformasi dalam bentuk dan metode. Bentuknya dalam video, Podcast ataupun Foto-foto yang tersebar dalam medsos. Metodenya adalah pengkiasan, hyperbolic atau playing victim. Tapi bahasa sederhananya ya tetap Gosip. "Di gosok makin sip". Ini adalah kenyataan yang harus kita sadari dan baca dalam kehidupan bernegara saat ini. Gosip bisa menjadi positif bila tidak menimbulkan gaduh dan konflik, bermanfaat untuk kehidupan kedepan, di dominasi dengan fakta bukan asumsi dan di landasi dengan keilmuan dalam bergosip. Pasti bila kita mampu mewujudkan itu makan dengan sendirinya kita sudah menjadi masyarakat kritis dan produktif.
Terus Mau Apa ?