Oleh: Dr. Ira Alia Maerani, Taufik Akbar Karim, Dosen FH Unissula, Mahasiswa PBSI, FKIP Unissula
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam sebenarnya bukan hal asing, karena wacana tentang HAM dalam Islam lebih awal jika dibandingkan dengan konsep atau ajaran lainnya. HAM sendiri secara etimologi merupakan terjemahan langsung dari human rights dalam bahasa Inggris, "droits de l'home" dalam bahasa Perancis, dan menselijke rechten dalam bahasa Belanda. Namun ada juga yang menggunakan istilah HAM sebaga terjemahan dari basic raights dan fundamental rights dalam bahasa Inggris, serta grondrechten dan fundamental rechten dalam bahasa Belanda.
Namun sebelum dunia Barat memperkenalkan Hak Asasi Manusia alias HAM pada sekitar abad-16 Islam sudah terlebih dahulu memperkenalkan konsep HAM pada sekitar 1.300 tahun sebelumnya. Bahkan Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pejuang HAM, beliau membawa dan menegakkan pernyataan HAM yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur'an dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah adanya pengakuan bahwa semua manusia itu memiliki martabat yang sama. Di samping itu, semua manusia memiliki hak-hak yang diperolehnya, selain kewajiban-kewajiban yang mesti dilaksanakan sebagai sebuah konsekuensi kehidupan.
Tidak berlebihan jika Al-Qur'an disebut yang mendasari lahirnya prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa manusia harus menjunjung tinggi nilai keadilan, ''Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.'' (QS Al-Maidah/5: 8). Dan selanjutnya Al-Qur'an menoleransi dalam memperjuangkan sebuah cita-cita. 'Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu, dan masuklah dari pintu-pintu yang berbeda-beda' (QS Yusuf/12:67). Maksud dari ayat tersebut yaitu memberikan peluang kepada setiap orang untuk menempuh jalan yang berbeda-beda dalam mengekspresikan pendapat masing-masing, tentunya dalam kerangka yang sama dan tujuan yang sama.
Hak-hak yang paling fundamental itu merupakan aspek-aspek kodrat manusia. Dalam catatan sejarah islam sudah mengenal HAM hal itu dibuktikan dengan adanya piagam madinah yang ditulis oleh Rasulullah SAW. Piagam tersebut berisi pernyataan bahwa para kaum muslim dan non muslim di Yastrib/Madinah adalah satu bangsa dan orang yahudi dan nasrani serta non muslim lainya akan dilindungi dari segala bentuk penistaan dan gangguan lainya. Dalam piagam tersebut terdapat 47 pasal yang mengatur sistem politik, keamanan, kebebasan beragama, kesetaraan dimuka hukum, perdamaian dan pertahanan. Prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam Piagam Madinah adalah:
Pertama, interaksi secara baik dengan sesama, baik pemeluk islam maupun non muslim. Kedua, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Ketiga, membela mereka yang teraniaya. Keempat, saling menasehati. Dan kelima, menghormati kebebasan beragama. Piagam madinah merupakan landasan bagi kehidupan masyarakat yang plural di Madinah. John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak yang kodrati.
Oleh karena itu tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa: "Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlidungan harkat dan martabat manusia".
Pada tahun 2020 Amnesty International Indonesia melakukan pemantauan terhadap situasi hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia dan mereka menemukan bahwa keamanan yang berlebihan dalam menghadapi covid-19. Pemaksaan serangkaian kebijakan berdampak negatif pada hak asasi manusia. Hal ini dibuktikanya banyak aktivis yang ditangkap akibat mengangkat isu-isu yang sensitif pada pemerintah, penyerangan buzzer kepada orang yang mengkritik pemerintah. Penerapan dan tindakan sewenang-wenang UU ITE dan kitab undang-undang hukum pidana menjadi salah satu batasan untuk kebebasan untuk ber-ekspresi. Sementara itu penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak menunjukkan prospek kemajuan, seperti kasus Munir yang bisa dibilang seolah-olah didiamkan dan diabaikan oleh pemerintah. Perlu diingat bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang dilindungi oleh konstitusi UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Tahun 2020 bisa dibilang adalah tahun dimana semakin melemahnya penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia dan ditambah efek dari pandemi Covid-19 yang menyerang semua kalangan masyarakat yang menyebabkan banyak yang mengesampingkan hak asasi manusia antara lain, Terabaikanya hak-hak tenaga kesehatan, pemerintah dinilai kurang memperhatikan tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam menangani covid-19 ditambah kurangnya alat pelindung diri (APD) dan sulitnya mendapat tes swab ditambah lagi banyak stigma negatif dari masyarakat tidak terkecuali pengurangan upah dan pemberhentian.
Padahal tenaga kesehatan sangat bekerja keras mereka rela tidak pulang demi membantu masyarakat seharusnya mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Dan yang ke-dua yaitu ancaman terhadap kebebasan berekspresi, seperti yang baru kemarin terjadi yaitu UU Cipta Kerja yang di sahkan oleh pemerintah yang terkesan terburu-buru. Pemerintah mengatasnamakan pembangunan ekonomi namun ada beberapa pasal yang dianggap merugikan masyarakat. Hal ini membuat banyak aktivis dan buruh khususnya melakukan demonstrasi untuk mengungkapkan haknya untuk berpendapat, namun yang terjadi adalah banyak penangkapan dan intimidasi kepada mahasiswa, aktivis.
Amnesty mencatat, setidaknya terdapat 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE sepanjang 2020, jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir. Pembahasan RUU Ketahanan Keluarga justru dilanjutkan sementara tidak ada kejelasan dari tujuan RUU tersebut. Pada tahun 2020 parlemen justru mendorong perumusan regulasi yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Keberadaan RUU ini cenderung diskriminatif, RUU ini juga salah satu prioritas DPR untuk disahkan pada tahun 2020. Ini merupakan gambaran tidak adanya komitmen negara untuk menjamin perlindungan hak setiap warga negara. Sementara itu peraturan perundang-undangan yang harusnya menjadi acuan untuk penyelesaian masalah di negara ini seperti kekerasan terhadap perempuan tidak dilanjutkan atau mandek.