Lihat ke Halaman Asli

Kompabilitas Islam dan Demokrasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1335957163201024270

Diskursus Islam dan demokrasi dengan potensi kompatibilitasnya menarik untuk dicermati. Hal ini merepresentasikan tingkat dan kualitas relasi Islam dan Barat sebagaimana disinyalir Samuel Huntington melalui tesis Benturan Peradaban-nya. Tidak sedikit kalangan yang berasumsi bahwa demokrasi beserta isu-isu modernism dianggap tidak cocok dengan kultur Islam. Sedangkan pada sisi lain fenomena implementatif konsep demokrasi dan diterimanya sistem ini pada masyarakat muslim tidak dapat diabaikan.

Perdebatan yang mewarnai diskursus antara Islam dalam kaitannya dengan demokrasi, adalah tentang konsep kedaulatan. Ada dua kutub perbedaan yang sulit disatukan ketika pembicaraan menyentuh perihal siapa pemilik kedaulatan. Pada sisi inilah terjadi miskonsepsi yang sangat tajam di kalangan masyarakat Islam dalam memahami dua konsep kedaulatan, yaitu antara konsep “kedaulatan Tuhan”, dengan konsep “kedaulatan rakyat”.

Pendukung pendapat pertama yang menolak demokrasi biasanya merujuk kepada tesis Maududi, yang menyatakan konsep politik Islam dalam al-Qur’an yang paling mendasar adalah kedaulatan Tuhan atas seluruh kehidupan manusia. Dialah pembuat hukum. karena di dalam al-Qur‟an secara jelas dikatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini. Oleh karena itu Kehendak-Nyalah yang dominan dalam kehidupan alam ini. Kehendak-Nyalah yang kemudian berkedudukan menjadi atau sebagai undang-undang.

Dalam perdebatan lain, pada ujung satu spektrum, beberapa kalangan Muslim beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa Syarî‘ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan bahwa, sementara mengakui prinsip syûrâ (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini.

Sementara pada ujung spektrum yang lain, beberapa kalangan Muslim lainnya berpendapat bahwa Islam “tidak mengemukakan suatu pola baku tentang teori negara [atau sistem politik] yang harus dijalankan oleh ummah.” Dalam bahasa Muhammad ‘Imâra, seorang pemikir Muslim Mesir, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim, karena logika tentang kecocokan agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu akan berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia [untuk memikirkannya], dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah digariskan agama ini.

Pandangan politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multiinterpretatif semacam ini. Pada sisi lain, hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam yang multiinterpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda—beberapa bahkan saling bertentangan— mengenai hubungan yang pas antara Islam dan politik.

Banyak persoalan yang harus diurai lebih jauh mengenai kompatibilitas dan tidak kompatibelnya Islam dengan demokrasi. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, orang yang menyatakan bahwa antara Islam dan demokrasi terdapat segi-segi persamaan, bahkan menurutnya yang lebih tepat ialah ada hal-hal yang bersesuaian, meskipun banyak hal-hal yang tidak bersesuaian. Hal ini disebabkan dalam perkembangannya pemahaman terhadap demokrasi menjadi semakin kompleks, seperti misalnya pengakuan terhadap hak-hak minoritas, jaminan hak-hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, menghargai pluralitas, toleransi, kerjasama dan mufakat, di mana hal-hal tersebut kompatibel dengan nilai-nilai dasar Islam.

Sekalipun ada pemilikan kemutlakan dan kedaulatan yang berbeda antara Islam dan demokrasi, tidak berarti dengan sendirinya Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Setidaknya hal ini penulis dasarkan atas pendapat Dhiauddin Rais, seorang Guru Besar di Universitas Kairo dalam bukunya Sistem Politik Islam, Ia menarik kesimpulan bahwa pemilik Kedaulatan (sovereign) dalam suatu negara Islam adalah dua hal yang saling bersatu dan harus saling berhubungan, yakni ummah (rakyat) dan syari'ah (hukum Islam) sekaligus secara bersama sama. Dan menurut penulis ini sejalan dengan gagasan Negara Demokrasi Konstitusional Indonesia, yang telah terumuskan dalam pasal 1 UUD 1945. Suatu gagasan Negara yang berdasarkan atas hokum.

Dari paparan singkat ini, bisa dinyatakan pada tingkatan normatif, tidak ada kontradiksi yang substantive antara Islam dan demokrasi, bahkan keduanya, pada tingkat filosofis, diyakini saling menjiwai. Pada konsep permusyawaratan misalnya, dalam ajaran Islam dikenal syura atau musyawarah, yang merupakan derivasi (kata turunan) dari kata kerja ‘syawara’. Di sini musyawarah bisa dinyatakan sebagai suatu proses sekaligus praksis meminta pendapat dan mencari kebenaran. Sedangkan perihal tersebut adalah salah satu prinsip dalam demokrasi yang dianut sebagian besar bangsa di dunia.

Penulis lebih menyukai dan melakukan pedekatan demokrasi dengan upaya lebih terfokus kepada persoalan kemanusiaan, dari manusia oleh manusia dan untuk manusia. Dalam hal ini demokrasi dan Pemilu sebagai manifestasi kekebasan politik adalah ikhtiar kemanusiaan dalam tujuannya menuju kepada kesejahteraan, melalui pemilihan pemimpin yang berorientasi kepada nilai-nilai kebebasan, keadilan, kesetaraan menuju kesejahteraan.

Untuk itu terbuka ruang bagi eksplorasi intelektual yang mungkin dilakukan untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap Islam dan demokrasi, dan potensi tercapainya titik temu di antara keduanya. Hal ini penulis dasarkan atas hasil penelitian disertasi Muhammad Tahir Azhary (2003) yang menyebutkan bahwa demokrasi modern dalam bentuk bangunan Negara Hukum, juga memasukkan “Negara Hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah” ke dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline