Lihat ke Halaman Asli

Analisis Cost Benefit of RUU Organisasi Kemasyarakatan

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1334741470717717097

Prolog

Saat ini hampir semua negara-negara modern secara formal menganut asas kedaulatan rakyat. Negara hukum ini bersifat demokratis (democratische rechtstaat), yang diartikan bahwa proses penyelenggaraan Negara dan pembentukan hukum berlangsung dengan partisipasi warga negara. Prinsip dasar tersebut kemudian dikenal sebagai konsep demokrasi. Dalam konsep Negara hokum yang demokratis ini tercakup pula prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Salah satu bentuk implementasi perlindungan terhadap HAM dalam konteks ini adalah adanya UU No. 8 1985 tentang Organisasi Masyarakat atau biasa disebut Ormas yang dibentuk untuk menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28, Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Selanjutnya, guna mempermudah pengimplementasiannya di lapangan, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986. Oleh karenanya, dari sudut pandang regulasi, kehadiran ormas di tengah masyarakat telah mendapat ruang yang cukup valid. Jaminan konstitusional tersebut menunjukkan bahwa Negara menjamin kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul untuk melakukan kegiatan bersama, menyampaikan aspirasi atau untuk mencapai tujuan bersama, tetapi tetap dalam tertib hukum negara.

Mengacu data di Kemdagri, saat terdapat 6.227 ormas yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara menurut data yang disampaikan Mendagri, saat ini hanya 2.227 ormas yang terdaftar di Kemdagri. Artinya, masih banyak ormas yang menjalankan aktivitasnya, tetapi belum terdaftar. Termasuk sekitar 150 ormas asing yang tercatat di Kementerian Luar Negeri, tetapi enggan melaporkan kegiatan mereka kepada pemerintah.

Fakta lain yang mengenaskan dari catatan mantanKapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri mencatat, sejak tahun 2007 hingga 2010 ada 107 tindakan kekerasan dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas).

Eksistensi Ormas dan Dinamika Permasalahannya

Dalam sejarah perjalanan berbangsa dan bernegara, Ormas sebagai wadah berhimpun anggota masyarakat telah berlangsung lama dan mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perjalanan kemerdekaan negara maupun pencapaian pembangunan nasional. Lihatlah bagaimana eksitensi Ormas seperti Muhammadiyah dan NU, perjuangan dan kontribusi besar kedua Ormas tersebut diberikan melalui berbagai program dan kegiatan nyata sesuai tujuan Negara antara lain pada bidang pendidikan dan kesehatan.

Pada sisi yang lain, kehadiran Ormas (terutama paska reformasi) yang begitu semarak bak jamur di musim hujan, telah menimbulkan dampak social yang cukup kompleks menyangkut legalitas pendirian, pengelolaan organisasi dan keuangan, hubungan dengan Ormas lain maupun dengan negara, serta semakin banyaknya Organisasi Masyarakat Asing di Indonesia menuntut adanya aturan hukum yang lebih baik.

Hal tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena di lapangan, bahwa ternyata tidak selamanya ormas menjadi garda terdepan dalam memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Tindak kekerasan dalam bentuk demonstrasi, aksi protes hingga terorisme, realitasnya sebagian dilakukan oleh Organisasi Kemasyarakatan (ormas). Pelbagai konflik dan aksi-aksi kekerasan hingga terorisme di Indonesia telah memakan banyak korban baik berupa korban harta, jiwa,. Aksi perusakan tempat umum, penutupan paksa, melecehkan suku, agama, ras dan antar golongan serta aks-aksi lain yang pada akhirnya menimbulkan perasaan ketidaknyamanan dalam kehidupan masyarakat, terancamnya keamanan negara, hingga menurunnya  kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Catatan buram yang ditorehkan sejumlah ormas tertentu mengakibatkan pemerintah harus berpikir ulang untuk melakukan pembatasan terhadap ruang gerak ormas.

Sejalan dengan paparan di atas, ada keyakinan dari pemerintah bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44) yang ada saat ini dianggap tidak mampu menutup celah dinamika Ormas yang begitu intens tersebut. Karena itu, agar kehidupan Ormas tetap dapat berjalan sesuai tujuan organisasi sekaligus tujuan negara yang dicita-citakan bersama, maka dibutuhkan upaya penyempurnaan dan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Namun pada kenyataannya ide untuk mengganti UU 8 1985 tidaklah mudah dan tanpa kendala. Proses pengajuan RUU sudah berlangsung cukup lama, menghabiskan banyak waktu, biaya dan tenaga dengan kompleksitas dinamika yang mewarnai pembahasannya. RUU ini diajukan pada Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (19/08/2009), RUU ini telah mendapatkan “perlawanan keras”. Aksi menentang RUU Ormas meluas di sejumlah kota di Indonesia antara lain di Bandung, Bali, Makassar, dan Surabaya.

Desakan Kuat

Ada Desakan kuat dari kalangan LSM untuk mengentikan pembahasan RUU Ormas, lantas mencabut UU No. 8 Tahun 1985 karena tidak sesuai lagi dengan semangat demokrasi dan bertentangan dengan konstitusi Negara. Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Medan dan sekitarnya menyatakan sikap yang sama. Organisasi seperti BITRA Indonesia, LBH Medan, Sahdar, Deli Serdang Institute, Fitra Sumut, Walhi Sumut, Pembebasan, Pusaka Indonesia, dan Pusham Unimed, secara tegas menolak RUU Ormas.

Cukuplah Pemerintah fokus pada upaya pengesahan RUU Perkumpulan, pengaturan organisasi seharusnya cukup diatur dalam UU Yayasan dan UU Perkumpulan.

Sementara jika kemudian Ormas yang gemar melakukan tindakan anarkis dianggap sebagai masalah, maka upaya penanganannya yang harus dibenahi, Hemat kami UU Yayasan, Staatblad tentang Perkumpulan, KUHP, dan UU Anti Terorisme sudah cukup mewadahi dan memberikan jawaban atas berbagai permasalahan tentang organisasi-organisasi yang ada di Indonesia.

Jangan sampai hadirnya RUU Ormas hanya bentuk lain otoritarianisme yang berpotensi memberangus kebebasan berkumpul dan berserikat, berpotensi menjadi alat legitimasi bagi pemerintah untuk memasuki wilayah ruang ekspresi warga negaranya. Di sini, Negara harus memerankan diri sebagai pengayom semua kepentingan masyarakat, bukan untuk mengekang dan membatasi. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline