Taufik Firmanto
Muqaddimah Secara kodrati, manusia adalah mahkluq sosial yang secara alamiah pula membutuhkan kehadiran pribadi-pribadi lain dalam menjalankan aktifitas serta menjaga eksistensinya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, manusia membutuhkan manusia lain dalam usahanya mencapai tujuan pribadinya. Atas dasar itulah manusia selalu ingin hidup bermasyarakat atau berkelompok, hal inilah yang juga menunjukkan kepada kita bahwa manusia menurut kodratnya tidak dapat melepaskan diri dari manusia lainnya. Dalam mengatur dan mengurus kebutuhan bersama, agar kehidupan berlangsung secara tertib dan damai seperti inilah, maka muncullah tata aturan, norma atau nilai-nilai yang menjadi kesepakatan universal yang harus ditaati. Semacam hal tersebut di ataslah peradaban manusia dimulai, di mana manusia harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. la harus memegangi nilai-nilai aturan yang berlaku mengatur hidup manusia. Nilai-nilai aturan yang mengikat manusia inilah yang kemudian kita kenal sebagai hukum. Pada mulanya, dalam berbagai literature awal yang memperbincangkan keberadaan hukum (di masa yunani kuno) kita temukan bahwasanya telah terjadi perdebatan yang cukup seru tentang hukum antara kaum filsuf Ionia dengan kaum Sophies. Namun perdebatan mereka tidaklah menemukan perbedaan bahwasanya hukum itu berasal dari suatu kekuatan tak kasat mata, transedental, dan bernuansa religiusitas serta sangat dekat dengan alam semesta (makro kosmos). Dalam perkembangannya, sebagai bagian dari ilmu social yang bersifat dinamis, bidang hukum menunjukkan perubahan yang paradigmatic. Hukum tidak lagi dibangun, dan dijabarkan sesuai dengan tatanan nilai yang bersifat transendental (lex eterna; hukum Tuhan/ kodrati), hukum para nabi dengan risalah kitab suci yang dibawanya (lex devina), atau berasal dari hukum alam (lex natura) semata, tetapi telah bergeser pada pandangan yang melihat peran manusia begitu dominan dalam merumuskan ketentuan aturan hukum konsep lex humana, yang cenderung bersifat legalistic normatif. Hal ini juga bisa kita temukan pada bangunan hukum Indonesia saat ini. Filsafat modern yang dikenal dan sangat memengaruhi paradigma berpikir Barat adalah Positivisme Logis. Paham ini tidak mengakui metafisika. Mereka hanya mengakui persepsi panca indera sebagai satu-satunya yang “ada”. Kalangan ilmuan Barat mengakui bahwa dengan adanya filsafat Positivisme Logis, Barat sukses mencapai hasil yang gemilang dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Positivisme Hukum Di awal abad ke 19 berkembang “positivism”. Aliran ini mejalar kesemua cabang ilmu sosial termasuk ilmu hukum. Kaum positivis menganggap bahwa yang sebenarnya dinamakan hukum hanyalah norma norma yang telah ditetapkan oleh negara. Pada waktu itu, sebagai akibat dari kemajuan-kemajuan dalam bidang industri perdagangan, transportasi, terjadilah kekosongan besar dalam perdagangan. Berhadapan dengan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat massif dan melahirkan suatu orde baru tatanan hukum yang tidak ada bandingannya, bukan hanya sampai waktu itu, tetapi juga sampai sekarang. Lahirlah perundang-undangan baru, bidang hukum baru, system dan pengorganisasian baru yang berpuncak pada kodifikasi. Sehubungan dengan itu, kita menyaksikan bagaimana ilmu hukum disibukkan oleh penggunaan metode baru yang mempertajam pengkajian terhadap hukum peraturan perundangan. Perkembangan yang demikian mendorong ilmu hukum dan metode hukum untuk memusat dan berkonsentrasi kepada misi menjaga atau mempertahankan tatanan hukum perundangan baru yang tengah menanjak itu. Metode-metode menjadi sangat normative, positivistik, dan legalistic. Hal lain yang turut menyuburkan paham ini adalah tuntutan konsep Negara modern yang mewajibkan adanya ketertiban hukum dalam bernegara. Jean Jasque Rousseau (1712-1778) mendalilkan bahwa Negara hasil suatu perjanjian bermasyarakat yang disebut staat, state (status hukum atau status bernegara) maka analisis dalam persoalan kenegaraan berkisar pada hukum yaitu membentuk hukum (legislatif), melayani dan melaksanakan hukum (eksekutif), dan penegakan hukum (yudikatif). Ide ini juga menemukan landasan teoritisnya pada teori pembagian kekuasaannya Montesquieu yang mengintroduksir ide Trias Politica di bidang ketatanegaraan. Aliran hukum positif berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan postivisme yuridis adalah pembentukan struktur-struktur rasional system-sistem yuridis yang berlaku. Dalam praksisnya konsep ini menurunkan suatu teori bahwa pembentukan hukum bersifat professional yaitu hukum merupakan ciptaan para ahli hukum. Prinsip-prinsip positivisme yuridis adalah:
- Hukum adalah sama dengan undang-undang; hal ini didasarkan pemikiran bahwa hukum muncul berkaitan dengan Negara, sehingga hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
- Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral; hukum adalah ciptaan para ahli hukum belaka.
- Hukum adalah suatu closed logical system.
Untuk menafsirkan hukum tidak perlu bimbingan norma sosial, politik dan moral melainkan cukup disimpulkan dari undang-undang. Tokohnya adalah: R. von Jhering dan John Austin (analytical jurisprudence), atau Hans Kelsen yang terkenal dengan ajaran Teori Hukum Murninya. Dalam perspektif ke-Indonesiaan, penjajahan oleh barat selama lebih dari 300 tahun adalah pihak yang paling gampang dituding sebagai kambing hitam yang menyisakan wajah hukum Indonesia seperti saat ini. Dalam tata hukum hindia belanda, peminggiran hukum adat Indonesia misalnya bisa kita temukan pada pasal 15 “Algemene bepalingen van wetgeving voor Indonesie” (Peraturan Umum mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia) yang mengatakan, “… adat kebisaaan tidak merupakan hukum, kecuali apabila undang-undang menyatakan itu”. Ini sekaligus secara legal formil menafikkan hukum adat Indonesia yang notabene dipengaruhi oleh kearifan budaya local yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap ajaran para nabi, serta kehidupan yang senantiasa bersahabat dengan alam. Menurut Satjipto Rahardjo (2010: x), suatu perilaku hukum baru mesti dibangun dan dikembangkan untuk mendukung perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan, akan tetapi tampaknya tidak mudah merubah perilaku bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka ke arah yang sempurna.
Bagaimana Seharusnya Hukum di Negara Ini Bekerja Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”. (Zudan Arif Fakrulloh: 2005) Dalam bangunan hukum Indonesia saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan produk hukum warisan colonial yang bersifat Positivistik dan legalistic. Ini tentunya perlu menjadi kajian serius bagi kita untuk menghadirkan produk hukum yang sesuai dengan nafas hidup dan falsafah bangsa serta mengakomodir kebutuhan hukum bangsa ini. Ini menjadi penting kita lakukan karena telah kita sepakati bahwa hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme dianggap memberikan sumbangsih pada kemerosotan pada bangsa ini. Tidak berdayanya rejim hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kala itu ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan aspek-aspek etika, moral dan keadilan sosial. Hukum adalah sarana untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan. Dalam bahasa bijak orang tua kita, hukum haruslah mencerminkan keadaan tata tenterem karta raharja. Tata-tenterem dapat dikatakan menghukumkan apa yang dianggap baik oleh masyarakat kita; karta-raharja, mengindikasikan suatu perencanaan, perekayasaan, atau perakitan masyarakat yang kita cita-citakan. Sudah seharusnya bangsa yang besar ini menemukan bentuk hukumnya sendiri. Hal ini bisa kita lakukan dengan menggali dari dalam dasar hukum kita, suatu konsep hukum dengan perspektif intregalistik Indonesia yaitu Pancasila sebagai falsafah bangsa. Hukum dasar kita menegaskan bahwa pembinaan hukum kita haruslah bersemangat kekeluargaan (gotong royong), dan bukanlah bersifat individualistic. Hukum tidak boleh hanya mengedepankan aspek kepastian hukum yang legalistic formiil belaka, namun juga harus mengakomodir aspek keadilan dan kemanfaatan hukum dengan memerhatikan nilai-nilai etika dan moral yang tumbuh dalam masyarakat. Etika berasal dari bahasa yunani ethos, sedangkan moral berasal dari bahasa latin mores. Keduanya memiliki pengertian the customs or way of life. Hukum seyogyanya menjadi petunjuk hidup, dengan bahasa yang sederhana kita katakan bahwa keberadaan hukum adalah sebagai alat bagi manusia untuk mencapai kesejahteraanya. Hukum tidak dipahami sebagai suatu institusi yang esoteric dan otonom, melainkan sebagai bagian dari proses social yang lebih besar, sehingga dengan tegas Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa: “law as a great Anthropological Document ”, artinya pemahaman yang memahami hukum sebagai sekumpulan aturan-aturan guna kepentingan profesi sebagaimana pemahaman kaum positivistic harus dirubah dengan penahaman bahwa hukum adalah dokumen antropologis. Sekarang mari kita lihat rumusan etika moral Pancasila oleh Notonagoro (1975), yang sekaligus akan menperjelas benang merahnya dengan pembahasan awal kita tentang hukum sejak jaman yunani kuno hingga mazhab posivisitic. Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa. Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kemanusiaan, peri keadilan dan peri keadaban. Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kesatuan dan peri kebangsaan. Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kebijaksnaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[]
Daftar Bacaan: Abdul Ghofur Ansori. 2006. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anthon F. Susanto. 2010. Dekonstruksi Hukum, Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan. Genta Publishing, Yogyakarta. Bernard L Tanya. 2010. Teori Hukum, Startegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta. Juniarso Ridwan & Achmad Sodik. 2010. Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara & Hukum dari Zaman Yunani Kuno sampai Abad ke-20. Penerbit Nuansa, Bandung. Khuzaifah Dimyati. 2010. Teorisasi Hukum, Studi tentang Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Genta Publishing, Yogyakarta. Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum; Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Genta Publishing, Yogyakarta.