Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan (bagian-1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terminal di dekat Pasar Inpres selalu riuh. Bus kecil dan angkot-angkot tua bertubuh karatan telah siaga. Berjajar menanti penumpang. Bising mesinnya menggeram-geram sedari tadi. Serasa menyayat telinga. Pengap knalpot, panas, menambah pengap hawa kota Sintang yang nyaris tepat di garis khatulistiwa.
Sejenak tercium aroma harum dari para penumpang, entah dari wewangian apa. Atau mungkin sabun yang melekat jejaknya pada kulit-kulit mereka setelah mandi. Sebagian orang memang demikian, ada aroma wangi yang melekat tahan lama pada tubuhnya, seolah sabun-sabun tak mau lepas dari kulit mereka.
Tapi tunggulah, bau itu pasti berubah. Wewangian tiba-tiba menjadi senyawa paling memabukkan, saat semua orang tumpah ruah dalam bus yang penuh sesak, penuh segala orang dan barang, dalam kepengapan ruang besi tua karatan. Keringat yang menetes-netes dalam kepengapan akan mengubah segalanya.
Bus jurusan Sintang-Nanga Mau rupanya sebentar sudah penuh. Datang dan pergi sedari tadi. Padahal tiketnya tak murah, 50 ribu. Tapi entah, mungkin harapan dan semangat mencari penghidupan yang membuat orang-orang menyesaki bus-bus tua itu.
Aku di halte, sedang duduk menanti keberangkatan, berkawan seorang bidan yang pergi ke Ambalau bersama suami dan kedua anaknya. Sudah dua jam, bus belum datang juga. Bus jurusan Sintang-Serawai. Ya, kami pergi ke Serawai, lalu menginap semalam di sana. Besok barulah kami naik speedboat menuju Ambalau. Bukan perjalanan yang mudah, kata orang-orang, juga kata kawan-kawanku di Sintang.
Seperempat jam kemudian bus itu datang.
Travel bag, koper, kardus, dan karung-karung besar milik penumpang dinaikkan ke atap bus, bertumpuk dan bertindihan saling menyatu, lalu ditutup kain terpal biru dan diikat memakai tali tambang kecil pada tepi kanan-kiri. Tampak menjulang dan menggunung. Lalu penumpang masuk, bergantian, menuju pengap yang nantinya tak tertahankan.
Kuhirup aroma pepohonan karet serta hutan yang telah gosong sepanjang jalan. Sesekali kami melintasi kelompok anak kecil dengan wajah coreng-moreng hitam di atas bak mobil pick-up, di tepi hutan yang pohon-pohonnya telah gundul terbakar. Kayu-kayu gosong itu mereka angkut, sedikit demi sedikit. Mungkin dijadikan arang bakar.
Itulah ladang berpindah, sebuah sistem yang menyejarah dan mendarah daging dalam kultur Dayak, yang sering dikambinghitamkan sebagai penyebab kabut asap yang konon mencapai negeri tetangga. Sebagian kawan bercanda dengan menyebutnya komoditi ekspor negeri kita.
Benar, pemerintah pusat memang telah melarangnya. Tapi semua yang kutemui bilang, melarangnya sama dengan memutus nadi hidup mereka. Dan bukankah pemimpin seharusnya bertugas menjamin hidup rakyat, bukannya mencabut nyawa, meski mereka berjumlah segelintir saja?
Pondok kayu kusam berdiri jarang-jarang di sepanjang tepi jalan. Sebagian kosong tak berpenghuni, sisa petani-petani Dayak atau buruh pengaspal jalan, yang pergi entah ke mana. Anak-anak kecil bertelanjang bulat berlarian di halaman.
Tak tampak lautan hijau persawahan seperti yang biasa kulihat di Jawa. Beberapa kali pandanganku justru bertemu pasang mata yang kosong dan hampa, di pondok yang muram, sedang menatap jalanan yang lengang. Punggung mereka menyangga keranjang berisi hasil sadapan pohon karet. Sedangkan yang lain memanggul balok kayu besar naik turun bukit dengan peluh bercucuran, sementara telapak kaki mereka mengelupas pecah di atas jalanan yang sama pecahnya dengan nasib hidup mereka.
Sejenak anganku terbius. Bukankah mereka adalah saudara sebangsa dan setanah airku? Ah, di negeri ini aku belajar bahwa yang namanya saudara tak selalu bernasib serupa. Itulah kehidupan, itulah kenyataan.
Pertama kali kususuri pedalaman Kalimantan, langsung kukenal wajah Kalimantan sesungguhnya. Wajah yang senantiasa luput tersorot terangnya kamera media massa. Sebuah pulau yang dipropagandakan tak kalah maju dibanding Jawa, namun ternyata menyimpan kegetiran masa depan.
Jalur Sintang-Serawai hanya 10-20 kilometer pertama saja yang beraspal baik, selebihnya berbatu-batu, bergelombang, atau beralas tanah liat yang mengepulkan jutaan debu saat diinjak-injak roda-roda bus yang ringkih. Dua kali bus kami singgah, mengaso sejenak, yaitu di Nanga Mau dan di persimpangan menuju Tebidah.
“Andai Malaysia mencaplok pulau kita, aku malah menyambutnya dengan suka cita,” begitulah obrolan yang kudengar di warung kopi dan warung makan, tempat paling bebas bersuara dan bersajak, saat kami singgah.
“Jalan dan transportasi di pulau kita rusak parah, jauh berbeda dengan di Jawa. Ini sangat tidak adil…”
“Hidup kita makin terhimpit. Aku lebih suka zaman yang lama, saat kita bebas menjual kayu dan dapat uang…” dan seterusnya.
Begitu banyak suara. Penuh tuntutan. Penuh ketidakpuasan. Tak mudah memang hidup di Indonesia, apalagi menjadi pemimpinnya. Jadi, inilah wajah Kalimantan sesungguhnya.
Di tengah perjalanan, dalam gerak hati yang muram, kujumpai sesosok wajah cantik perempuan. Gerak-geriknya begitu lincah, membuat mataku tak henti menatap, tak ingin lepas darinya. Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata. Lalu tak terasa kemudian aku tertawa.
Bibi juga paman, di Jawa, pernah berpesan sebelum aku berangkat kemari. “Jangan pernah jatuh cinta pada orang Kalimantan. Di sana penuh orang Dayak,” kata bibiku.
“Memangnya kenapa, Bi?” tanyaku menggelitik.
“Ah…pokoknya jangan sampai terjadi. Itu saja,” bibi mengakhiri pesan yang tak boleh kubantah.
Dan kini aku terpesona pada senyum manis perempuan Kalimantan! Untuk alasan itulah aku tertawa.
Tak ada yang salah dalam senyum perempuan itu, pada pakaiannya, juga gerak-geriknya. Tak ada sesuatu pun yang salah. Dia bahkan tampak begitu sempurna, bagai malaikat kecil bersayap, yang turun di tengah pengapnya hati manusia.
Ah, betapa konyolnya pesan bibi dan pamanku dahulu. Sama seperti pesan ibuku jauh sebelumnya, sebelum aku berniat ke Kalimantan. “Hati-hati dengan perempuan Padang,” kata ibu. “Orang-orang Padang itu berwatak kaku.”
Ah, betapa kasihan orang-orang Kalimantan dan Padang. Bukankah kita terlalu dijajah oleh prasangka, sebuah prasangka yang berlatar etnis?
Maka, siapa bilang Indonesia bebas dari SARA? Siapa bilang SARA hanya persoalan kaum kulit putih dengan kulit hitam di Amerika Serikat? Siapa bilang kerusuhan Mei 1998 hanyalah persoalan adu politik belaka? Siapa bilang… Ah, tak akan selesai bila kutuliskan semua.
Jantungku berdegup kencang akibat luapan emosional yang tiba-tiba menyeruak barusan, semarah orang-orang yang menjadi korban kebrutalan pembangunan, hingga lupa pada malaikat cantik yang duduk satu bus denganku.
Serawai masih jauh, tapi aku dan seluruh penumpang sudah lelah dan bosan. Tak terhitung berapa kali tubuh kami terbanting-banting melintasi jalanan yang rusak parah, juga menahan ngeri melewati jembatan kayu lapuk yang hampir jebol.
Kawanku bilang, “Inilah Indonesia.”
Aku membela. “Ah…mungkin tak seburuk itu,” kataku waktu itu. Tapi itu dulu, sebelum aku tahu Indonesia sesungguhnya.

***

Aku bangun kesiangan di sebuah losmen di Serawai. Tadi malam kami tiba, setelah perjalanan 10 jam dari Sintang. Badan terasa pegal luar biasa, baju pun lengket oleh keringat. Maka itulah semalam tidurku nyenyak sekali.
Perjalanan masih panjang. Kami belum sampai Ambalau. Sebuah speedboat telah siap mengantar ke sana, dengan biaya yang selalu saja tak murah. Tapi itulah satu-satunya pilihan. Belum ada jalur darat yang dibuat menuju Ambalau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline