Gus Dur yang satu ini masih muda. Usianya sekitar separuh usia Gus Dur yang asli. Gus Dur yang ini pun sehat wal ‘afiat, penglihatannya masih sempurna, tidak mengantuk, bahkan rajin main bulutangkis di lapangan dekat kantor Polsek. Gus Dur bahkan meraih juara 2 sektor ganda putra pada lomba bulutangkis tujuh belasan tahun lalu.
Satu-satunya persamaan dirinya dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid, pen.) hanyalah gemuknya. Ya, Gus Dur dari Kemangai ini berperut buncit dengan perawakan yang cukup gemuk.
Kisahnya bermula, sebagaimana dituturkan oleh ‘Gus Dur’ sendiri, saat itu dia dan kawannya bermain catur. Entah bagaimana, kawannya yang bernama Alfian itu diolok-olok sebagai Amin karena wajahnya yang mirip Al Amin Nasution (suami penyanyi dangdut Christina). Karena tak terima, kawan itu pun balas mengoloknya dengan Gus Dur. Maka, jadilah nama Gus Dur sebagai panggilan tenarnya.
Di waktu berikut, tanpa kesepakatan, orang se-kecamatan malah lebih mengenalnya sebagai Gus Dur ketimbang nama aslinya yaitu Surahman. Aku pun terbiasa memanggilnya dengan Bang Dur.
Bang Dur pemilik warung makan di Nanga Kemangai, satu-satunya di seantero kecamatan. Di rumah Bang Dur, yang juga warung makan dan toko kelontong, orang sering berdatangan dan duduk-duduk di beranda, termasuk aku.
Sejak pertama datang di sini, aku telah menjadi pelanggan warungnya. Bagi lidahku yang ‘kota’, masakannya cukup lezat. Selalu ada kuah bersantan seperti layaknya masakan padang, meski warungnya bukanlah warung padang. Bang Dur adalah orang Melayu yang lahir di Sintang, Kalimantan Barat. Jadi dia lahir dan besar di sini.
Di sini sayur sungguh langka. Meskipun hutan berjajar, tanah menghijau, tapi entah mengapa sayur begitu sulit didapat. Sekali ada harganya mahal. Tapi di warung Bang Dur, sayur hampir selalu ada, asal ada orang yang berjualan. Itu pun bergantian, kalau bukan daun ubi tentu kangkung.
Bang Dur bercerita, pertama kali menginjakkan kaki kemari dirinya merasa shock. Sama sepertiku. Keramaian di sini tak seperti yang dia bayangkan. Datang tanpa modal, hanya berbekal harapan dan tekad khas anak muda, dia berusaha mewujudkan mimpi di pusat kecamatan yang sepi ini.
Awalnya dia bekerja di toko kakaknya. Lambat laun mencoba peruntungan sendiri, berjualan kecil-kecilan seperti telur, daging ayam, dan snack kemasan. Itulah cikal bakal toko kelontong miliknya yang kini menjelma cukup besar, paling tidak untuk ukuran Nanga Kemangai.
Awal mula warung makannya terjadi secara kebetulan. Saat itu dia iseng-iseng memasak telur dan membungkusnya bersama nasi. Ternyata ada beberapa orang yang membeli. Keesokan hari orang-orang datang lagi dan lagi, terus menanyakan nasi bungkusnya. Maka sejak itulah usaha Bang Dur bertambah, berekspansi ke bisnis mengenyangkan perut.
Semua orang Kemangai pasti mengenal Bang Dur. Toko dan warungnya terletak di ujung pasar. Ikuti saja jalan pasar hingga habis, maka akan bertemu. Tak mungkin salah.
Tapi itu nostalgia masa lalu. Terakhir kali aku datang ke warungnya, Bang Dur dan istrinya tampak makin jenuh dan muram saja. Hidup seolah dijalani hanya untuk menunggu mati. Kemuramannya adalah kemuraman semua orang. Wajah-wajah muram itulah yang kini kutemui tiap hari, bersamaan dengan semakin menyusutnya peluang mata pencaharian di sini.
“Saya dulu ikut menjual batangan kayu ke Sintang,” kisahnya padaku beberapa hari lalu. Matanya tampak bercahaya mengenang Kemangai di masa itu. “Kami membawa ratusan batang kayu tebelian pakai motor*). Dalam sebulan bisa 4-5 kali pulang pergi. Uangnya ratusan juta. Anak-anak kecil saja waktu itu bawaannya uang 50 ribuan.” Bang Dur tampak bersemangat dan berseri-seri.
Aku takjub dengan besarnya nilai uang itu. Tapi, seperti yang pernah kuceritakan, daerah ini sekarang sepi. Sungguh kontras dengan saat di mana illegal logging masih ramai. Orang dulu ramai menoreh karet dan gaharu. Harga karet saat itu masih di atas 10 ribu per kilogram. Dan getah gaharu pun tidak sesulit sekarang.
Kini tak ada lagi mata pencaharian yang bisa diandalkan. Sebagaimana di Jawa, orang-orang pun bermimpi menjadi PNS saja.
“Saya sedang membangun rumah di Serawai,” kata Bang Dur di akhir perbincangan. Kedua matanya menatap mentari yang merayap ke ufuk barat, sebentar lagi tenggelam. “Saya berencana pindah, di sana lebih ramai…” ucapnya penuh pengharapan.
Kuarahkan mataku menatap sekeliling warung makannya. Pada mangkuk-mangkuk yang berisi lauk dan sayur, rak-rak kaca, deretan gelas dan piring bersih yang berjajar, juga nasi hangat yang masih berkepulan. Semua ini akan hilang dari Kemangai. Tiga atau empat tahun lagi, kata Bang Dur.
Saat itu mungkin aku tidak bertugas di Kemangai. Aku sudah pergi jauh ke Jawa, pulang ke kampung halaman. Namun, entah mengapa, diam-diam muncul secercah rasa kehilangan. Tak akan ada lagi warung seperti ini di Kemangai. Dan orang-orang hanya akan mampu mengenang segala tentang dirinya, bersama warungnya, juga kelezatan rasanya. Sungguh sayang…
Warung dan tokonya adalah magnet di sini. Menarik orang untuk datang, berkumpul, makan, belanja, membeli es bungkus, atau sekedar duduk-duduk di beranda depan sambil berbincang dan mengunyah jajan gorengan di balik wadah plastik yang selalu menerbitkan selera. Ah…sungguh sayang!
Senja itu aku pulang membawa secercah rasa kehilangan. Sementara di arah barat sana, mentari pun mulai menghilang ditelan awan dan cakrawala.
Kemangai, 30 Oktober 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H