Lihat ke Halaman Asli

Saatnya Peduli Hak Sejarah!

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Betapa keras publik menuntut hak-hak  politik. Alangkah cerdas upaya para opinion leader merebut setiap keping wacana politik atas nama rakyat. Sungguh mahal pula ongkos untuk semua itu. Energi, waktu, bahkan pergumulan dan konflik, rela dikuras demi sesuatu yang berbentuk mencoblos kertas suara dalam (misalnya) Pilkada.

Tak ada yang salah dengan semua itu. Tetapi setiap perbuatan, selalu mengandung konsekuensi. Bila seluruh daya-daya intelektual manusia Indonesia berjalan timpang, terlalu bertumpu di satu persoalan, dan melepaskan agenda yang lain, maka hasilnya adalah kemerosotan (atau kejatuhan).

Bagaimanapun, membangun bangsa ini tak cukup dengan satu kaki, tak cukup dengan hanya politik saja. Tetapi agaknya lanskap sosial kemasyarakatan kita terakhir ini masih tekun dengan haru biru politik.

Padahal di waktu yang bersamaan, tak kurang-kurang tumpukan soal non politik tetapi penting. Atau dalam bahasa lunak, tak sedikit isu-isu publik yang berkaitan dengan harga diri bangsa, bertautan dengan martabat hidup, dan memuat konteks kehidupan manusia Indonesia, bermunculan satu per satu.

Coba simak. Persis di tengah pergumulan antar Fraksi di DPR, satu dua nama manusia Indonesia membuat harga diri kita terobati, yakni dengan memenangkan emas Asian Games. Tapi apa respon publik yang muncul? Datar-datar saja.

Atau bagaimana pula dengan ritual tahunan sekelas Penghargaan Hadiah Nobel, yang ditanggapi dengan senyap, meskipun ada konteks kuat dengan denyut nadi bangsa ini, yaitu terpilihnya Malala Yousafzai, perempuan Muslim yang masih belia. Ada konteks yang sama, karena negeri ini mayoritas muslim, dan juga menghadapi tantangan radikalisme agama (dalam hal ini Islam). Semua isu-isu ini tak pernah menjadi publikasi utama, artinya dianggap tak penting.

Informasi lain yang seakan hanya menempel sekelebatan saja di media massa adalah: nasib sejarah bangsa!

Harian Kompas yang terbilang rada lumayan. Tak cuma menjadikannya berita, tetapi juga memuat artikel opini dari para ahli. Bayangkan, para sejarawan menyebut ribuan naskah klasik dan kuno milik "pribumi" kini beredar ke luar negeri. Melalui jalur pencurian, pembelian massal, mafia dagang, dan jalur "kenakalan diplomatik, ribuan naskah terkategori filologi itu (mulai dari lontara, wawacan, kitab klasik, kropak, babon, babad, dan lain-lain) melayang dari bumi Nusantara. Aneh bin ajaib, tak ada pihak yang marah, tersinggung, dan berangasan.

Barangkali benda-benda itu dianggap abstrak. Nah, justru di situ titik pangkal persoalannya. Bangsa yang kehilangan daya nalar untuk menilai karya-karya intelektual klasik, artinya adalah bangsa yang tak punya daya abstraksi, dan kehilangan daya imajinasi. Sulit dibayangkan kita menjadi bangsa besar, jika warisan sejarahnya tak bermakna apa-apa.

Lantas ada juga yang membuat hati giris. Masih di harian Kompas, beberapa kali muncul berita tentang potensi rusaknya lukisan goa (diguratkan di dinding goa) yang berada di Maros, Sulawesi Selatan. Menurut sejumlah informasi, ada ratusan lukisan goa di Maros yang terancam hancur, tak bisa dikenali.

Lukisan goa itu, tak lain adalah artefak, benda purbakala yang memberikan banyak informasi penting, dan sangat sedikit di dunia ini bisa didapatkan hal serupa. Ditilik dari usianya, lukisan goa ditaksir mencapai 40.000-an tahun. Menjadi batu pal pertama kemampuan belajar manusia (purba) dalam mengembangkan keterampilan dasarnya (yakni menuliskan tanda-tanda, atau hiroglif, atau piktograf).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline