Lihat ke Halaman Asli

Tokoh Publik dan Dilema Kebebasan Media Sosial

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jacqueline Kennedy, isteri mendiang J.F. Kennedy, memilih berperkara di depan hukum, gara-gara merasa terganggu oleh ulah seorang reporter koran, yang terus membuntuti ke manapun ia pergi. Oprah Winfrey, harus susah payah membela diri di Gedung Pengadilan, gara-gara ada pihak yang merasa dirugikan oleh kata-kata pembawa acara paling terkenal di dunia ini.

Dunia pernah berduka lalu menjadi marah, begitu tahu bahwa faktor pemicu kecelakaan mematikan terhadap Lady Diana adalah para papparazi, pemburu foto yang mengusik kehidupan pribadi para seleb. Kisah-kisah faktual seputar para tokoh terkenal yang merasa terganggu oleh hiruk pikuk media, menjadi gambaran awal betapa tak mudah menafsirkan kebebasan informasi, yang mejadi payung hukum para pemburu berita.

Jika oleh media massa yang resmi sekalipun, para tokoh publik sudah merasa sangat terganggu, lalu bagaimana dengan aksi liar para pengguna media sosial?

Media sosial, jauh lebih bebas dan tak terkendali tinimbang media massa umum, karena sifatnya yang tak berstruktur, tak mengenal hirarki, tak ada fungsi kontrol, dan... tak bertanggungjawab. Media sosial kebanyakan dikelola oleh alamat anonim. Olehnya, berbagai fitnah, provokasi, penghinaan, begitu bebas bergerak di media sosial.

Dalam banyak kasus, pihak yang paling sering menjadi sasaran adalah tokoh-tokoh publik (baik dari dunia hiburan, politik, bisnis, atau olahraga). Atau bisa jadi pihak yang dirugikan adalah orang-orang biasa, akan tetapi dampak publisitas dan sensasinya tergolong rendah. Lagipula, serangan media sosial terhadap individu yang tergolong orang-orang biasa, tarafnya adalah dari pribadi ke pribadi. Bukan urusan publik.

Lalu Bagaimana?

Kalau mau jujur, pasar fitnah dan saling serang di media sosial adalah bukti kuat akan adanya kelemahan fatal dalam praktek bermedia (sosial) di negeri ini.

Teori komunikasi menggolongkan para pengguna media (termasuk media sosial), dalam tiga level. Yaitu highbrow, yaitu golongan orang kelas tinggi (secara intelektual dan selera). Golongan ini menikmati media untuk bertukar ide, menyebarkan gagasan, menularkan nilai-nilai, dan produktif (dalam arti melakukan aktivitas yang berdaya guna via media).

Golongan berikut, yaitu midlebrow, tak lain adalah kalangan menengah, yang menggunakan media untuk mencari informasi (hiburan atau pengetahuan), dan untuk relaksasi, misalnya melepas kejenuhan. Di golongan ini, media juga berfungsi sebagai alat sosialisasi mereka.

Golongan terakhir, dan ini yang berbahaya, adalah lowbrow, yakni kalangan bawah, yang menggunakan media (sosial) benar-benar sebagai alat pemuasan diri. Mereka adalah kebanyakan orang-orang kalah, gagal, dan frustrasi. Merasa dunia ini tak adil, kejam, dan dirinya kurang beruntung. Mereka juga terlalu banyak punya waktu luang, karena pekerjaan yang tak jelas. Tak ada kebutuhan di kalangan ini untuk adu gagasan, bertukar ide, atau memperjuangkan nilai-nilai positif.Isi otak mereka tak sampai ke situ.

Yang ada adalah ingin sebanyak mungkin menguar-uarkan ekspresi liar. Golongan ini, kerap kali merasa berhak melakukan apapun, karena orang lain juga melakukan hal yang sama. Artinya, mereka tak punya prinsip, mudah ikut-ikutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline