Lihat ke Halaman Asli

Teror Putih Pemecah Partai Politik

Diperbarui: 18 Juni 2015   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertarungan politik menurut Machiaveli bisa berlangsung dalam dua cara: cerdas dan ganas. Sang penulis buku Il Principe ini membuat perumpamaan menarik, yakni tentang rubah dan singa.

Pemain politik tak bisa hanya mengandalkan keperkasaan yang sangar seperti Singa, tetapi juga harus licin dan cerdik seperti Rubah. Lantaran kalau cuma kuat, masih gampang ditipu, dan pasti bisa jatuh. Olehnya harus juga bisa seperti Rubah, yang punya kuku kuat, tetapi terampil memanfaatkan situasi.

Analogi dari Filsuf Italia era pencerahan itu memang menanggalkan basis moral dan nilai-nilai kebaikan. Tetapi itu pandangan yang realistis. Bahkan menurut beberapa pakar, ada nasehat penting dari pesan-pesan pertarungan politik ala Machiavelli. Tak lain adalah: kemampuan para politisi untuk bisa bertahan adalah fleksibel, adaptif, dan tak boleh statis.

Bila ditarik dalam praktek nyata, semua menjadi niscaya. Bahwa seorang politisi yang mengusung misi kebaikan akan terlempar sia-sia manakala ia tak mampu melawan gempuran dari kanan dan kiri.

Mari kita lihat konteks aktual hari ini di tanah air.

Hari-hari kita diwarnai konflik politik vulgar. Peragaan atas adu kuat bahkan dalam tindakan tergolong brutal. Semua level kekerasan telah lahir. Dari perdebatan wacana, kontroversi isu, saling serang dan nista, ribut di parlemen, hingga adu jotos. Sangat jelas, tak mungkin para person yang terlibat mau melaksanakan hal-hal tak pantas itu jika tidak memiliki kepentingan politik. Semuanya berlatar pengamanan kekuasaan atau perebutan porsi kekuasaan.

Namun yang lebih menyedihkan, institusi-institusi formal seolah tak bisa menahan diri untuk ikut campur. Serangkaian tindakan dan keputusan terlihat nyata memperkeruh suasana. Padahal dalam konflik politik, katup penyelamat justru berada pada proses pelembagaan konflik. Yakni jalur netral, moderat, pasti, dan berdimensi keadilan.

Ditambah pula, aktor-aktor politik yang mestinya memberi kontribusi bagi penguatan konsolidasi demokrasi, berperilaku sama dengan para pihak yang melakukan kekerasan politik.

Aktor politik demokratis yang dimaksud adalah pers, kaum intelektual (pengamat), organisasi masyarakat sipil (civil society), dan bahkan kalangan agama, tidak hadir sebagai penyejuk suasana. Malah mengipas-ngipasi kobaran api.

Sesungguhnya di sinilah kerumitan berpusar. Konflik hari ini berdimensi vertikal (melibatkan institusi negara, dari bawah ke atas) sekaligus juga horisontal (melibatkan komponen masyarakat). Jika sudah begini, persoalan menjadi kian rumit. Praktik politik yang berkeadaban menjadi tersingkirkan.

Padahal konflik politik bisa diselesaikan dengan begitu banyak cara. Di titik paling awal adalah para aktor politik yang mengedepankan etika dan kepatutan. Lalu aktor non politik memberikan penilaian jernih. Kemudian aktor lembaga resmi melakukan kajian multi perspektif. Syarat dari kesemua itu adalah netralitas dan tidak berniat mengambil keuntungan dari konflik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline