Sampai saat ini buku bertemakan cinta masih menjadi primadona dikalangan masyarakat. Banyak interpretasi yang hadir akan cinta itu sendiri, hal tersebut tak terlepas dari sifat universalitas dari cinta. Karena cinta bisa hadir di mana pun, kapan pun, dengan siapa dan juga apa pun.
Membaca kisah-kisah cinta akan mengusik jiwa terdalam seseorang. Cinta nyaris sama dengan kehidupan itu sendiri. Cinta bisa menjangkit jiwa antar manusia, antara manusia dengan mahkluk lainnya, maupun antara manusia dan Sang Pencipta.
Seperti halnya kisah cinta yang tersaji dalam Laila Majnun. Laila Majnun yang merupakan karya sastra berisi kisah cinta tragis antara dua anak muda ini sangat terkenal di negara-negara Islam di Timur Tengah dan telah diceritakan secara turun temurun selama ratusan tahun.
Ialah Nizami Ganjavi, seorang penyair Persia yang mendapatkan tugas untuk mengisahkan cerita yang tersebar dari mulut ke mulut tersebut ke dalam suatu karya sastra luar biasa ini. Ialah Shirvanshah, penguasa dari Kaukasia yang menugaskan Nizami sebagai penyair kawakan pada kala itu untuk menulis kisah ini pada tahun 1188 Masehi. Walaupun sempat menolaknya, namun pada akhirnya Nizami berkenan untuk menuliskannya dan hingga saat ini bisa kita baca.
Kisah Laila Majnun sebagai kisah cinta antar dua manusia sungguh dapat memberikan kenikmatan dan pencerahan . Kita dihadapkan pada perjuangan yang tidak hanya menembus harda diri, status sosial, tetapi juga mengorbankan darah dan nyawa dari orang-orang yang berpihak.
Kita dihadapkan pada sebuah penderitaan yang sanggup ditimbulkan oleh cinta yang penuh halangan, bukan saja pada orang yang mencinta, tetapi juga pada orang yang dicinta, orang-orang lain yang ada di sekitar pencinta dan orang-orang lain yang peduli dan kagum pada sang pencinta dan cinta itu sendiri hingga pada mereka yang sama sekali tidak berhubungan dengan pencinta itu secara langsung, namun rela nyawanya menjadi taruhan dalam kisah cinta mereka.
Kisah Laila Majnun juga merupakan metafora dari Majnu terhadap Tuhan. Artinya kisah cinta Majnun terhadap Laila semata-mata adalah kecintaannya terhadap Tuhan. Majnun benar-benar menghilangkan egonya hingga sampai pada tingkatan peniadaan diri. Sehingga ia tidak memandang dirinya dan kekasihnya sebagai suatu yang terpisah melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Dengan kata lain, kisah ini adalah sebuah alegori dari perjalanan sufi untuk sampai kepada Tuhan.
"...Aku tidak pernah memilih jalan yang aku tempuh: aku telah dilemparkan ke dalamnya. Aku terbelenggu dan terikat oleh rantai baja, tap bukan aku yang mengikatkn belenggu itu. Aku menjadi budak cint karena suratan takdirlah yang menjadikanku seperti itu. Rantai yang telah diikatkan oleh takdir tak bisa dibuka lagi. Aku tidak dapat lepas dari belenggu ini: aku tidak dapat melepaskan beban penderitaanku kecuali takdir sendiri yang melepaskannya...." (hlm. 59)
Pada akhirnya, kisah ini menghadirkan kepada kita nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi nilai kehidupan itu sendiri. Membaca buku ini lalu emosi anda tidak teraduk-aduk, pikiran anda tidak memberontak, dan airmata anda tidak tumpah maka anda belum memahami seperti apa cinta yang sesungguhnya itu.
Informasi buku
Judul: Laila Majnun