Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

"Qaumam Buran", Mengingatkan Kebinasaan kepada yang Pasti Binasa

Diperbarui: 8 Desember 2022   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash

Kebinasaan itu sudah pasti. Fenomena-fenomena alam yang terjadi belakangan ini hingga merenggut tidak sedikit nyawa bisa jadi menjadi bagian yang sudah dipastikan. Saya kira semua orang sudah mengetahui bahwa tidak ada yang abadi, sekalipun dirinya. Kematian selalu menjadi nasihat bagi tiap-tiap insan yang masih hidup.

Manusia tidak memiliki bagian untuk mengharapkan kehendak akan kebinasaan tersebut. Semua itu mutlak menjadi kehendak bagi Yang Maha Kuasa atas segala sesuatunya. Akan tetapi, tak sedikit dari kita yang merasa menjadi wakil dari tuhannya sehingga sering kelewat batas untuk memberi peringatan akan hari akhir yang mungkin sudah dekat.

Mengingat mati itu adalah nasihat bagi mereka yang kurang bisa mengendalikan nafsu dirinya sendiri. Mungkin akan berbeda bagi mereka yang sudah berusaha menundukkan(ego)nya. Bisa jadi, menikmati kesempatan hidup dengan melakukan hal yang baik dan syukur bermanfaat serta mendatangkan mashlahat bagi lingkungan sekitarnya.

Kalau kata seorang Gus e, setiap orang diberikan hadiah dan kutukannya masing-masing. Hadiah itu dalam artian kelebihannya, ekspertasinya, atau keahliannya, yang mana dirinya diberikan kemudahan saat orang lain susah payah mendapatkannya. 

Sedangkan kutukan merupakan kelemahan yang ada pada diri. Jadi, sebisa mungkin selama masih ada kesempatan waktu dalam mengarungi perjalanan hidup dengan kesementaraannya, mengapa tak kau bagikan hadiah itu kepada sekitarmu?

Para rasul, nabi, atau bahkan waliyullah, tidak pernah sekalipun memberikan peringatan akan kebinasaan bagi ummatnya, kecuali kepada para musuhnya. Para 'Aulya dan kaum 'alim kebanyakan ahak menitipkan hadiah yang dititipkan kepadanya berupa kabar gembira kepada para pengikutnya. Mereka lebih menjanjikan harapan dan ketenangan, daripada memilih untuk menghadirkan rasa takut kepada ummatnya.

Sesungguhnya tidak harus melihat sesuatu yang besar untuk melihat kebinasaan. Di setiap waktu, selalu ada kebinasaan jika kita memperhatikan kehidupan. Hidup dan mati selalu terselip di setiap detak yang tak henti bergetar. Jangan jadikan kesempatan hidupmu di bumi ini seperti di neraka, yang hanya mengharapkan satu kebinasaan, melainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak. Layaknya kita semua akan kekal di dalam kehidupan berikutnya.

Mengapa engkau lebih memilih menjadikan hidupmu bagai neraka? Mengapa engkau lebih memilih kata binasa dari bahagia? Apakah tidak ada tujuan lain yang lebih mulia daripada mengharapkan kematian, yang engkau tujukan bukan hanya untuk dirimu, tapi juga kepada orang-orang di sekitarmu? Tidak mungkin orang hidup tidak memiliki tujuan, atau jangan-jangan engkau memupus dan mengkubur tujuan asa citamu itu sendiri karena engkau telah berputus-asa terhadap pertolonganNya?

Kata-kata bijak seperti "matilah sebelum engkau mati" itu bukan berarti kita pantas untuk menjadi delegasi dengan menyebar dakwah tentang kematian atau kebinasaan. Yang butuh engkau matikan itu adalah ego dan nafsumu. Hidup bagaikan mayat hidup itu agar kita tidak memiliki tendensi apapun atas apa yang kita berikan. Meskipun begitu, sudah ada jaminankah kita merasa telah baik sebagai manusia?

Kesenangan yang memperdaya itu tak lantas berbatas kepada materi keduniawiaan saja, karna bisa jadi itu juga tumbuh dalam hatimu, jiwamu, dan qalbumu dalam bentuk kepongahan dan merasa benar. Pujian dan rasa hormat menjadi rasa haus yang selalu engkau tuntut pemenuhannya, hingga tak sadar diri sendiri telah menjadi gila. Bukan gila karena engkau wali, tapi karena engkau sendiri telah menutup diri akan nasihat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline