Salah satu yang mengherankan dari dunia ekonomi bahwa ternyata adanya sektor produksi yang tidak bisa menentukan harga jual sendiri, yakni petani. Ruang bercocok tanam juga merupakan pabrik penghasil bahan-bahan pokok makanan.
Akan tetapi, tidakkah mereka dipaksa untuk mengikuti harga jual dari para tengkulak? Padahal, mereka juga membutuhkan modal untuk menanam bibit di lahannya, yang mana itu juga tidak sedikit.
Kalau alasannya agar harga kebutuhan pokok stabil, apakah itu termasuk dalam sila manusia yang adil dan beradab? Para petani berangkat semenjak matahari keluar hingga hampir terbenam, dengan keringat dari tenaga yang dikeluarkan, namun mereka seringkali mendapat hasil yang tidak seberapa dari modal yang telah dikeluarkan, bahkan tak ayal merugi.
Oleh karena itu, jadi tengkulak atau distributor hasil pertanian, bahkan eyek (jualan sayur dengan menggunakan sepeda motor), jauh lebih menjanjikan daripada menjadi petani itu sendiri. Mereka lebih bisa meminimalisir kerugian. Ketika harga yang ditawarkan kepada petani bagus, tapi mereka mendapatkan untung yang lebih signifikan.
Akan tetapi jika yang ditawarkan rendah, mereka memberikan alasan karena mereka harus menutup kerugian karena barangnya tidak laku, juga karena persaingan dan ketersediaan barang yang melimpah. Jika keadaan seperti itu, mengapa petani yang harus menanggung beban?
Dinas yang fokus pada pertanian pun setelah sekian puluh tahun pasca kemerdekaan seolah tidak pernah serius untuk memperhatikan nasib para petani. Mereka justru diuntungkan dengan mayoritas psikologi petani yang menganut keyakinan "berapapun hasilnya, banyak atau sedikit tetap disyukuri, itulah pemberian Tuhan".
Jadi, jangan kaget kalau beberapa tahun ke depan, petani yang dimaksud adalah buruh tani. Karena lahan milik mereka sedikit demi sedikit dijual untuk menyeimbangkan diri dengan laju zaman. Lantas, sang hokage mengidamkan anak cucu bangsa agar memiliki cita-cita sebagai petani?
Kalau iya dan ada pun, mereka pasti berpikiran bahwa mereka bertani dengan lahannya sendiri. Pekerjaan sebagai petani hasilnya tidak bisa dijamin oleh diri sendiri, hanya mengikuti harga pasar yang dikontrol oleh sebagian mafia atau pemain lama.
Sedangkan yang begitu dianggap sebagai hasil yang diberikan alam. Mereka membangun rumah-rumah megah dan kendaraan yang semakin besar untuk mengangkut hasil pertanian, akan tetapi para petani tetap hidup seadanya.
Tapi, jika ini dilantangkan juga berarti tanpa konsekuensi. Ketika kita menengok kebelakang, kita bisa juga dianggap antek komunis, yang kala itu mempersenjatai para petani. Niat baik yang berlebihan dan tidak sabar juga akan mengganggu keharmonisan yang telah tercipta.