Waktu demi waktu berlalu, segala bentuk perubahan menjadi saksi akan usia yang semakin renta bagi mereka yang hidup. Siang dan malam bergantian menjadi ruang perjalanan mereka untuk mendapati sebuah pertemuan. Dalam satu waktu perjalanan itu diarungi seorang diri, sedangkan di lain waktu perjalanan itu dilakukan bersama-sama.
Segala bentuk rintangan menjadi ujian atau berkah, bagai hujan yang seolah tak pernah lupa akan waktunya membasahi bumi. Segala bentuk dinamika perasaan menjadi bagian akan alur cerita yang bahagia atau sebaliknya, bagai angin yang bertiup mengawinkan tumbuhan satu dengan yang lainnya. Dan kita menjadi bagian yang paling mendapatkan manfaat dari semua itu.
Kita mengemban amanah yang gunung, lautan, bahkan langit pun enggan menerima amanah tersebut. Sebab kita memang menjadi manifestasi cinta yang diberikan kemerdekaan untuk mengkhalifahi semesta. Meskipun pada akhirnya kita hanya mendapati sindiran sebagai makhluk yang lalai dan dholim, namun tidakkah karenanya kita dapat terus mengingat hingga akhirnya patuh, bahkan tunduk?
Belum lagi dengan berbagai wujud manifestasi-manifestasi cinta yang lain. Yang begitu banyak. Yang memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Yang dihidupkan, kemudian dimatikan. Yang menjadi bagian dari masa lalu, saat ini, ataupun masa depan. Yang saling berkenalan dan menjadi warna tersendiri untuk menghiasi kehidupan. Untuk kembali menapaki sebuah jalan pertemuan yang sama.
Ya, masing-masing dari semua perbedaan itu memiliki caranya sendiri untuk menuju Yang Tunggal. Namun, ketika kita mengambil bagaimana segala perbedaan itu tertuju, maka kita akan mendapati seolah-olah satu kesepakatan batin yang sama. Ada satu getaran hubungan cinta asih dengan Yang Maha Tunggal, sementara tidak ada akan kita temukan perselisihan di ruang tersebut.
Segala bentuk perbedaan tidak hanya terangkum pada yang nampak mata, sebab begitu pula dalam gejolak batin. Imajinasi, gagasan, ataupun segala bentuk ide adalah bagian dari batin masing-masing yang memiliki citra nuansa yang berbeda-beda.
Kita sering menyangka mampu memahami, akan tetapi apabila semua itu kita bedah dan buka, nyatanya tidak ada pena atau apapun yang memberikan kita alat pembentuk pikiran dan imajinasi. Tidak ada pena ataupun benda-benda lainnya baik di dalam otak, hati, dada, bahkan hingga di dalam saraf, kecuali hanya daging dan darah. Mereka itu bebas.
Kita tidak akan pernah bisa memahami diri dengan kebebasan pikiran dan imajinasinya. Kita tidak akan bisa melogikakan segala citra yang terbentuk dalam diri. Apalagi menjadikannya perantara untuk memahami Tuhan. Semua itu tidak akan bisa dipahami oleh sesuatu yang menjadi bagian dari ciptaanNya. Tidak mungkin kendaraan mampu mengenali siapa perakitnya. Kalaupun bisa, pasti itu bukanlah Dia.
Hingga, kita menyadari bahwa kita adalah bagian dari manifestasi cintaNya. Karena Dia pulalah pada akhirnya kita bisa saling menemukan dan berbagi cinta kepada semesta yang di anugerahkan. Kita tidak punya daya sedikitpun untuk melakukan perubahan, kecuali perubahan itu sendiri adalah kehendakNya.
Cinta ataupun mencinta tidak bergantung akan segala sesuatu yang pada akhirnya berubah. Mencinta adalah qodrat yang lain yang dititipkan olehNya sesuai dengan ukurannya masing-masing. Pada akhirnya, kita tidak memiliki tanggung jawab akan sebuah perubahan. Kita hanya bertanggung jawab untuk menjadi wakil cintaNya untuk terus berbagi nikmat dan kebahagiaan.