Bisakah kita menyepakati bersama bahwa "memahami sesuatu" merupakan bagian dari rejeki? Dalam berbagai macam jenis bacaan, banyak hal yang mungkin saja sudah kita hafal, akan tetapi belum mengerti ataupun memahami makna yang terkandung di dalamnya. Mengerti, bisa jadi mengetahui sebatas arti, sedangkan memahami segala kata yang dibacakan, membutuhkan suatu hal, yakni kehadiran hati.
Jika diambil dari salah satu kitab, terkadang hati hadir bersama dengan kata-kata sekaligus tidak hadir bersama arti dari kata-kata itu. Artinya, ketika hati melengkapi pengetahuan atas segala arti yang dibacakan, itulah yang dimaksud dengan pemahaman. Sehingga, pemahaman bisa menjadi sebuah rejeki sebab kita tidak mungkin memastikan hati selalu settled terhadap arti-arti kata yang mereka terbang bersliweran dengan begitu merdeka di pikiran kita.
Bahkan dalam kegiatan Selasan, yang artinya begitu mendalam dan memiliki daya tarik spiritualitas tersendiri, tidak bisa ditentukan proses sinkronisasi antara makna dan kehadiran hati menuju pemahaman. Bisa jadi singkat atau lambat, atau menanti di pohon kerinduan dalam rentang waktu tertentu, dan mungkin saja hanya hinggap dalam sekejap.
Fenomena seperti itu selalu nampak dalam setiap kali putaran. Keistimewaan yang dirasa dalam Selasan nampaknya bukan pada kemeriahan acara, melainkan dengan merasakan bersama bagaimana rejeki berbentu pemahaman itu bersedia tinggal sejenak dalam diri dulur-dulur yang duduk bersama dalam Selasan.
Sesuai dengan konteks dari Selasan itu sendiri sebagai suatu majelis wirid dan sholawat, tentu saja hal yang menjadi fokus utamanya pun berbeda. Lain halnya, ketika kebiasaan setelah acara yang terjadi, dulur-dulur masih merenungi apa yang telah dialami selama acara dan juga mentadabburinya. Selama itu menambah kebaikan bagi dirinya, syukur juga buat kebersamaan. Mengapa tidak?
Malam ini (21/12), Selasan edisi ke-107 bertempat di Sanggar Wening, Markas Besar salah satu grup musik kontemporer khas Magelang, yakni Jodhokemil. Yang tuan rumah sekaligus pentolan grup musik tersebut, Mas Sigit, mempersilahkan Sanggarnya untuk dijadikan ruang untuk melakukan munajat Maiyah bersama.
Pemahaman sendiri merupakan sesuatu yang dinamis. Ia rejeki seperti yang lain pada umumya, bisa datang dan pergi, kelahiran ataupun kehilangan. Sesuatu yang pemahaman baru acapkali mengubur pemahaman lama, dan tidak mungkin kita bisa menjaga kepemilikan atas arti itu sepenuhnya. Berapa banyak pengertian yang halus, yang dipahami ketika sedang mengerjakan wirid sholawat bersama, akan tetapi ketika selesai, seolah hati enggan untuk melingkupi makna-makna itu kembali.
Tapi, setidaknya hal itulah yang menjadi keutamaan dalam segala bentuk laku ibadah, yakni melupakan sesuatu hal dari pikiran-pikiran yang negatif dan mencegah diri kita untuk melakukan suatu tindakanyang keji.
Tidak yang tahu, apalagi memahami kapan malam-malam seperti ini akan selalu diberikan kepada dulur-dulur dalam Selasan untuk dapat kembali merajut asih dan mempersembahkan kepadaNya. Dan tidak ada yang sanggup memastikan pula, bahwa dirinya mampu untuk selalu ada setiap minggunya. Membersamai hamba-hamba yang sejatinya belum begitu paham bahwa dirinya hanyalah hamba.
Mungkin saja kami akan terus seperti itu, merasa belum pantas menjadi seorang hamba. Sehingga Engkau nantinya selalu berkenan memberikan kami jalan untuk terus belajar memahami dan memantaskan diri menjadi seorang hamba. Melalui satu pintu kebersamaan ini, dalam Selasan.