Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Ridla Merindu Datangnya Sapaan Fajar

Diperbarui: 27 Desember 2021   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Malam ini (25/12) sinau bareng Gambang Syafaat diadakan di Aula Masjid Islamic Centre, Manyaran, Semarang. Suatu edisi yang spesial karena kesempatan kali ini merupakan momentum milad Gambang Syafaat yang ke-22. Meski di Bulan Desember identik dengan hujan yang setia membasahi, namun keadaan tersebut seolah menjadi berkah tersendiri karena tak membuat alasan alpa bagi dulur-dulur yang rindu suasana sinau bareng.

Lantunan merdu dari Whakijo dan Sedulur mengawali acara pada malam ini. Dilanjutkan dengan pembacaan munajat maiyah bersama me-refresh memori akan kehangatan suasana maiyahan pada umumnya. Jika berbicara Gambang Syafaat, kita banyak belajar tentang keistiqomahan tanpa central figure tertentu. "Ora bergantung sopo-sopo!" tegas Kang Hajir.

Pada Milad kali ini, Gambang Syafaat mengangkat tema "Seribu Pintu, Satu Rumahnya". Yang menandakan bahwa Gambang Syafaat sendiri bagaikan sebuah rumah dengan seribu pintu yang semuanya terbuka, dan dipersilahkan masuk melalui pintu apa saja sesuai dengan jenis minat dan kecenderungannya. Beberapa narasumber, seperti Pak Ilyas, Pak Saratri, Pak Budi, dan yang lainnya ikut menafsirkan bersama tema Gambang Syafaat kali ini.

Sungguh beruntung pada kesempatan ini, Mbah Nun berkesempatan hadir, dan keberadaan beliau menjadi kado bebungah tersendiri bagi dulur-dulur yang datang. Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir untuk mentadabburi bersama surat Al-Qadr dan bersiap menyambut fajar. Sebab, hidup kita ini terlalu banyak dinaungi oleh malam atau "peteng" daripada mengalami ketercerahan.

Sebelum lanjut sinau bareng, peristiwa simbolik pemotongan tumpeng dilakukan bersama untuk menandai Gambang Syafaat yang telah menapaki usia ke-22-nya. Doa yang dipanjatkan pun doa-doa yang diambil dari firman Allah, yang menurut Mbah Nun lebih menyenangkan Allah Swt. Surat Al-Qadr pun dibaca 5x dengan seksama dipimpin oleh salah satu jamaah yang hadir malam itu. Dilanjutkan bersholawat bersama dipandu langsung oleh Mbah Nun.

Suasana saat itu seolah menampakkan magisnya, bagaimana tidak? Jika anomali keadaan yang tersaji, dengan berbagai basic identitas, dan segala perbedaannya. Yang tua, muda, ataupun anak-anak. Duduk bersama menggemakan aula Masjid dengan melantunkan cinta yang sama melalui Sholawat Badriyah. Tidakkah sapaan itu cukup untuk setidaknya mampu membuat Kanjeng Nabi tersanjung?

 ***

Mbah Nun kemudian mengingatkan janji Allah untuk tidak memberi adzab kepada orang yang banyak melakukan istighfar dan rajin bersholawat. Karena itu, beliau pada malam itu juga memberi kebiasaan yang sering beliau lakukan, utamanya sebelum tidur, yakni istighfar 9x, sholawat 9x, hasbunallah 9x, dan dulur-dulur diajak untuk berikutnya juga menambahkan bacaan surat Al-Qadr 10x.

Malam itu, Mbah Nun mengenalkan satu pintu, pintu hajat. Setidaknya setelah mengalami banyak "peteng", timbul rasa rindu akan fajar yang akan menyambut. Surah Al-Qadr menjadi pemantik atau pintu untuk mempelajari surat Al-Fajr. Khusunya oleh Mbah Nun diajak untuk fokus kepada tiga ayat terakhir yang Surat Al-Fajr.

"Yaa ayatuhannafsul muthmainnah", ditadabburi bersama bahwa Gusti Allah ndawuh kepada jiwa yang tenang. "Kita termasuk apa tidak?" tanya Mbah Nun. Sebab jiwa-jiwa yang tenang itu biasanya ditujukan kepada orang yang sudah meninggal. Setelah objek, Mbah Nun bertanya tentang waktu, "kapan cocoke didhawuhke Allah nggo awakmu? Apakah bisa berlaku kapan saja dan siapa saja?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline