Diri sebenarnya tidak mengetahui pasti apa yang menjadi tujuan sebenarnya dari menghadiri acara sinau bareng. Kalau dibilang untuk mencari ilmu, nyatanya diri tidak pernah merasa bertambah pintar. Kalau dibilang untuk mendapatkan berkah, apa masih kurang berkah yang setiap hari diberikan oleh Allah?
Paling pol mentok hanya untuk mengisi waktu luang, daripada menghabiskan malam hanya dengan kegalauan. Setidaknya di tempat ini, kita bisa bertemu banyak orang dan saling silaturrahmi. Tapi yang namanya "mengisi" apapun itu pasti membutuhkan energi, upaya, sekaligus daya. Sebab ikut sinau bareng itu capek lho, apalagi acara berlangsung malam hari hingga lewat tengah malam. Lantas, untuk apa pula diri tanpa kejelasan tujuan ini juga terus mengikutinya?
Siapapun yang menciptakan sebuah tanya sebenarnya pada waktu yang sama sudah mengantongi jawabannya. Akan tetapi, pertanyaan tetap saja dilontarkan alasannya bukan untuk mencari jawaban, melainkan konfirmasi atas suatu jawaban yang telah dimiliki si penanya. Begitu pula segala kata yang nantinya terangkai, hanya akan menjadi salah satu dari dua atau mungkin banyak sisi yang berfungsi sebagai cermin. Yang tidak peduli dengan bagian benar dan salah, kecuali "tulis saja!"
"Jiwa Shadaqah" menjadi tema yang menarik pada kesempatan sinau bareng di Mocopat Syafaat kali ini. Shadaqah yang umumnya hanya bisa dinilai melalui suatu aksi atau tindakan dari suatu manusia, akan tetapi yang menjadi subjek kali ini adalah jiwa yang berifat sirr dan tidak ada yang mampu memberikan penilaian terhadapnya, kecuali diri sendiri.
Lagu "Hasbunallah" oleh Mbah Nun dan Kiai Kanjeng menjadi pembukaan yang menenangkan jiwa. Ada satu pertanyaan yang menarik dari Mbah Nun ketika bertanya kepada para jamaah, "bisa gak kita bahagia dengan keadaan yang berbalik (kemiskinan, penderitaan, kegelisahan, dsb)? Dengan nikmat yang begitu banyak dan tidak terhitung, seharusnya kita bisa selalu merasakan kebahagiaan. "Hati kita mungkin bisa meninggalkan apa saja asalkan kita tidak meninggalkan Allah." Mbah Nun menambahkan.
Mbah Fuad yang juga hadir pada Mocopatan kemudian menjelaskan 3 sifat Allah yang ada dalam lagu Hasbunallah. Pertama: Wakiil, yakni Allah merupakan Dzat yang mengurusi segala hal. Kedua: Mawlaa, Allah merupakan Tuan, dan juga Pelindung. Dan ketiga: Nashir, yakni Allah Maha Penolong. Dari ketiga sifat ini, menurut Mbah Fuad, apabila kita percaya seluruhnya kepada Allah Swt, sesungguhnya sudah tidak perlu ada hal lagi yang dikhawatirkan dalam hidup.
Mbah Fuad kemudian juga menceritakan banyak hal tentang Daarul Arqam pada masa-masa dakwah Kanjeng Nabi, Raja Mongolia dengan Raja kota Baghdad. Lalu diceritakan pula tentang orang yang dalam akhirat menyeslkan tentang dua hal semasa hidupnya, yaitu bahwa dirinya tidak termasuk orang sholat, dan karena dia tidak bersedekah.
***
Ada yang sedikit menggelitik pikiran saat mencoba mengkomparasi topik malam ini dengan bulan kemarin. Jika pada intinya kita dituntut untuk bahagia, tapi apakah bisa kita bahagia namun sekaligus juga merasakan ketidaktegaan? Karena setelah banyak dipikir-pikir, semua mungkin saja bergantung waktu dan situasi. Tinggal kita tekan tombol switch antara kedua rasa tersebut.
Dan jika memungkinkan untuk dilakukan secara bersamaan, yang terjadi adalah manipulasi atau hanya sandiwara. Yang menjadi pertanyaan, manakah yang menjadi pilihan antara berpura-pura menjadi orang yang tega (dengan menawarkan kebahagiaan meski hatinya tidak tega) atau berpura-pura menjadi orang sedih (dengan berempati, meski hatinya bahagia)?