Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Kosong

Diperbarui: 5 November 2021   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash/kelly-sikkema

Yang dianggap buruk, biarlah buruk. Asal kita tidak terpengaruh oleh itu. Jika keburukan itu mempengaruhi, kenapa diri-diri yang merasa baik tidak berusaha memperluas pengaruhnya? Kenapa tidak meminta langsung kepada Tuhan agar dunia dan seisinya hanya kebaikan yang terjadi?

Kita hanyalah seonggok daging yang diberikan kemungkinan untuk condong ke arah kebaikan atau sebaliknya. Tidak mungkin akan pernah terjadi kebaikan jika tidak terjadi godaan yang mengarah ke keburukan. Apabila dunia ini hanya diisi oleh siang, akankah hidup hewan-hewan yang beraktivitas di malam hari? Baik siang ataupun malam, dalam keduanya terkandung kebaikan pun keburukan. Begitu juga manusia.

Kita tidak akan pernah selesai dengan dualitas di dalam kehidupan yang penuh dengan cobaan. Dan di alam cobaan itu sendiri pasti melibatkan ujian, kesulitan, dan juga banyak marabahaya untuk segera bisa diatasi dan dilalui. Sebab oleh karena keadaan tersebut, manusia tumbuh menjadi dewasa, bijaksana, dan mungkin menuju kemuliaan.

Apakah mungkin kita menetapkan kemuliaan, tanpa melihat sesuatu yang hina. Kita hanya sebuah wadah yang diisi oleh banyak interpetasi yang mengandung banyak tendensi. Maka, penyesalan tidaklah menyapa tatkala kematian menyapa. Tetapi ketika kita sadar, bahwa telah banyak kita bergantung pada bayangan sia-sia saat hidup.

Tidak tengah segala keluh kesah ataupun penyesalan, masih lebih beruntung mereka masih diberi kesempatan untuk dipelihara dalam rahmat Tuhan, daripada mereka yang terbuang dan dibiarkan dalam ketersesatan. Hal itu bisa nampak bagaimana cara Tuhan tidak menodai ingatan mereka yang sedang dirundung banyak kegelisahan, dengan selalu mengingat kebaikan Tuhan. Bagaimana kebaikan itu akan terjaga, jika kepercayaan mulai memudar?

Sementara diri ini sejatinya adalah kosong. Dan akan kembali pada keadaan kosong pula. Bagaimana yang isi akan menyatu dengan isi yang lain? Bagaimana mungkin Yang Maha Tunggal akan tergantikan dengan eksistensi tunggal-tunggal yang lain?

Dualitas mungkin sebuah perbedaan, namun mungkin pula merupakan suatu pasangan. Keduanya hidup saling berdampingan, dan juga saling bergantian. Di satu sisi menghasilkan suatu dinamika dan getaran, sementara di sisi lain akan menjaga suatu keharmonisan. Itu semua hanyalah gambaran yang tercitrakan dari berbagai bentuk perjalanan dan hikmah. Yang tidak akan menjadikan diri sebagai "apa-apa", sebab diri tetap bukanlah "apa-apa", apalagi "siapa-siapa".

Untuk apa pula kita mesti berkecamuk dengan pergelutan dunia yang begitu saja. Ataupun polemik pergaulan dan keintiman yang itu-itu saja. Untuk apa pula kita hidup berdampingan jika pada akhirnya hanya akan melatih kemunafikan antar sesama. Sekalipun diri telah banyak dihiasi dengan ilmu hitung, ilmu pandang, sekalipun keluasan cinta. Sedang diri masih memasang tarif harga yang tinggi di depan khalayak.

Tiada satu pun bagian dari tubuh ini, sekalipun itu kecantikan ataupun ketampanan yang tidak berasal dari ketiadaan/kekosongan. Pun dengan segala dualitas yang menyebabkan perbedaan, padahal tak lebih dari sebuah manifestasi penyatuan dengan wujud keindahannya. Bisa melalu berbagai wujud "keadaan" atau "kata" yang sudah pasti banyak ditemui setiap hari.

Kasih, apabila engkau bagian dari rusukku? Akankah engkau akan menjadi bagian dari penyatuan dalam kehampaan atau kekosongan itu? Atau akan tetap memilih untuk berserakan dalam segala ketidakjelasan yang tidak akan mungkin bisa dijelaskan, terlebih untuk dipastikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline