Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Cerminan Wujudmu

Diperbarui: 22 Oktober 2021   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash/sekatsky

Sudah berapa banyak waktu yang terlewati hanya untuk melayani sebuah rasa kerinduan. Bukan untuk menunaikan atau menuntaskan rasa rindu itu, yang nantinya akan membatalkannya dan segera hilang. Akan tetapi, memeilihara kerinduan tersebut hingga saatnya rasa sesak menjadi nikmat. Dan pada saat itu, kita tidak akan terpisah dengan rindu.

Sadar tidak sadar, kita seringkali menolak panggilan kerinduan yang sering dinyatakan oleh sesuatu di luar diri kita. Baik oleh yang dekat, yang jauh, bahkan oleh Dia yang tak terlihat. 

Oleh sebab apa kita pada umumnya banyak merasakan rindu? Kecuali karna terpikat dan tertarik oleh apa yang pernah ditemukan dan terekam dalam rasa di dalam kenangan.

Tapi, bukankah ingatan kita terbatas? Kenangan kita pun berbatas? Bagaimana jika dipaksa untuk mengungkap rindu? Seringkali kita menyatakan rindu bahkan cinta kepada sesuatu yang tidak nampak melebihi apapun. Tapi, jika yang nyata sedang tidak berjarak, yang tidak nampak akan menjadi bukan lagi yang utama.

Sebab kita selalu terdorong untuk mengekspresikannya, sekalipun tanpa kata. Kita mesti ingin segera menikmati keindahan, sekalipun tanpa tatap. Dan kita mesti selalu ingin memanggilnya, meskipun tanpa sapa. Kita selalu ingin segera melampiaskan, daripada menunggu ataupun merawat perasaan yang dititipkan olehNya.

Jangan sampai diri menjadi pejalan rindu, akan tetapi malah justru dikutuk oleh rindu. Sebab keenggenan diri untuk tulus dan ikhlas melayani rasa yang tak akan pernah bisa dikendalikan. Sesempurna akal pun mungkin sulit untuk memahaminya, sebab bisa jadi itu merupakan sebuah anugerah.

Meskipun akal yang sempurna menjadi pertanda akhlak budi sejatinya diri. Hingga selanjutnya bisa diupayakan untuk membentuk iman yang lebih sempurna. Namun, anugerah berada di luar kehendak diri. Keadaan orang yang terus menjaga harapan kepada Tuhannya, tentu lebih baik daripada orang yang merasa sudah mendapat nikmat dari Tuhannya.

Kita seharusnya lebih berhati-hati dan jangan berlebihan sebelum bisa menyelaraskan kata dengan makna/perilaku. Akal akan menjadi hakim yang mengawasi kelakar nafsu yang selalu mengajak ingkar terhadap hati. 

Ia selalu datang menyebut diri bodoh dan hina karena rela dipermainkan. Padahal, sesungguhnya justru ia lah yang ingin mempermainkan.

Apa salahnya diri menjadi bodoh di mata orang lain, asalkan itu tidak membuatmu jatuh. Justru itu menjadi pemantik semangat kita untuk terus menjaga kejujuran terhadap diri. Berani menjadi diri sendiri dan bertanggung jawab atas segala resiko yang tidak bisa diduga datang di keghaiban masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline