Minggu kedua Selasan di bulan Ramadhan ini terlaksana di Omah Maneges, Muntilan. Langit pun nampak cerah dengan bintang gemintang yang sedikit malu menunjukkan mewahnya, seolah mengisyaratkan kata sepakat dengan sapaan Munajat yang akan didendangkan bersama dalam agenda #MQSelasan. Syukur kian berlipat, tatkala apapun yang menjadi upaya bersama ini, tidak akan pernah tercipta tanpa iradah-Nya.
Hingga edisi yang ke-72 ini, setidaknya Selasan mampu taat terhadap kesetiaan untuk terus menyapa Allah Swt dan Rasulullah Saw. Hanya saja, dalam ketaatan pun pasti terdapat kandungan ujian ataupun masalah yang pasti dihadapi. Bahkan, sepertinya ujian itu tidak akan pernah terhenti agar Dia mengetahui siapa yang paling baik amalnya.
Dalam Selasan, semua nampak telah mengerahkan segala usaha untuk menyatakan cinta meskipun sadar bahwa tiada pekerjaan dan pengerahan usaha terbaik selain percaya kepada Tuhan. Karena sebaik apapun upaya dilakukan, kalau ada tendensi keduniawian sedikit pun atau merasa angkuh diri mampu menangani suatu masalah atas pemberian yang dititipkan-Nya, hal tersebut bisa berakibat menuju kehancuran. "Janganlah kalian jatuhkan diri kalian dengan tangan kalian sendiri ke dalam kebinasaan." (2:195)
Terutama dalam bulan yang suci ini, pesona yang terdengar melalui keindahan lantunan ataupun rona rupa yang terpancar melalui munajat bersama, sekalipun sudah dilakukan secara berulang kali, apakah sudah berakar kuat dalam kesungguhan batin imannya? Apabila dihusnudzoni tentu saja pesona cahaya yang terpancar merupakan pantulan dari kuatnya iman jauh di kedalaman hati. Tapi, sediakah kita untuk lebih berwaspada jua?
Maksudnya,waktu kesucian ini benar-benar dijaga tidak hanya secara lahiriah, namun sekaligus secara batiniah. Jika kaki dan tangan (lahir) mampu menjatuhkan diri dalam kebinasaan, maka hati dan akal (batin) juga mampu melakukan hal yang serupa. Celakanya, batin diri kita masing-masing sulit terlihat dan hanya diri sendiri yang mampu mengetahuinya. Kebersamaan yang tercipta pun bisa menjadi alat bantu sekaligus menjadi cerminan diri. Semakin banyak cermin itu, tentu saja semakin presisi penglihatan terhadap diri.
Jangan sampai kita menjadi ahli menipu diri, karena hal tersebut juga bisa menjadi usaha serupa untuk membuat tipu daya kepada Allah Swt. Sedang di sisi lain, Dia Maha Mengetahui. Atau, dengan kelihaian akal dan hati, kita hanya menjadi seorang yang pandai meniru-niru ajaran yang telah didapat. Yang acapkali dipakai untuk memperindah kehormatannya, akan tetapi tidak memiliki keberanian untuk menyelaraskan perkataan dan perbuatan kita.
Melalui Selasan, kita mungkin sudah terstimulasi untuk menghancurkan berhala-berhala yang menggoda, namun apakah diri sudah memiliki keberanian untuk melompat ke dalam api? Tentu saja kotornya diri ini tidak pantas disamakan atau sekedar untuk dibandingkan dengan Nabi Ibrahim as. yang memiliki keteguhan iman yang kuat. Akan tetapi, setidaknya hal tersebut bisa menjadi sebuah perumpamaan. Bahkan, Allah pun seringkali membuat perumpamaan-perumpamaan dari nyamuk atau yang lebih rendah daripadanya, agar kita mudah mengerti.
Dengan Selasan, setidaknya kita mengetahui bahwa kita lemah. Bahwa kita masih mudah goyah. Atau mungkin diri yang masih sering ingkar akan kata-kata sendiri. Lalu, kita kembali bermunajat agar kita tidak kembali lalai dan lalim atas segala tobat yang sering kita teguhkan dalam rangkaian doa sebagai pamungkas munajat. Supaya menjadi sebuah pertanda sekaligus pengingat, agar kita tidak kembali menuju kehancuran yang sama.
Setidaknya oleh karena kewaspadaan itu, di awal-awal munajat dulur-dulur selalu melafadzkan, "Astaghfirullahal 'adzim 'alladzi laa ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaih (Aku mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung yang tiada Tuhan selain Dia yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya)".
***
Omah Maneges, 20 April 2021