Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Tega terhadap Penderitaan

Diperbarui: 22 Februari 2021   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash/arun-anoop

Sikap tega itu seringkali kita simpulkan sebagai salah satu bentuk tindakan yang menunjukkan sikap tidak perhatian atau ketidakpedulian terhadap sesuatu. Manusia seringkali menyimpulkan sikap ini hanya berdasarkan kejadian faktual pada apa yang dirasakannya kalau pada diri, atau atas dasar apa yang dilihatnya ketika melihat suatu keadaan interaksi.

Naluri atau insting manusia juga pasti akan segera merespon untuk menganalis segala sesuatu yang ditangkap oleh segala indra diri. Yang menghasilkan penilaian yang bersifat intuitif. Dari keadaan tersebut kita bisa melihat bahwa manusia pada dasarnya sangat subjektif. Hanya saja output atau analisis penilaian berdasarkan intuisi tergantung pada hasrat atau ego, yang sering kita bingkai dalam framing kata "nafsu".

Nafsu ini sebenarnya tidak selalu buruk. Bahkan dalam sebuah kitab agama, nafsu bisa diibaratkan sebagai sebuah monster yang mana apabila kita mampu menaklukannya, itu akan menjadi kendaraan yang sangat baik dalam mengarungi perlanan hidup ini. Oleh karena itu, kita tidak lantas mengesampingkan bahwa nafsu tidak selalu memiliki konotasi negatif, karena ia sebenarnya merupakan An-Nafs (jiwa) yang tidak pernah bisa terlepas dari diri.

Lalu apa kaitannya dengan sikap tega? Sikap tega sendiri hanyalah bagian dari hasil analisis yang diberikan oleh intuisi. Hanya saja apabila ada satu pemantik keluar menjadi opini, hal itu sering menjadi jalan pembenaran bagi yang lain. Dan dampak yang diberikan atas dasar opini belum tentu benar, karena tidak ada proses konfirmasi atas informasi kepada subjek pelaku atau tabayyun.

Tidak ada atau minimnya tabayyun ini menjadikan lingkungan kita acapkali terjadi kubu-kubuan. Yang saling berebut tidak hanya kemenangan, namun juga dari persolaan kekuasaan, ekonomi, bahkan hingga ke martabat atau harga diri. Terlebih dalam laju modernisasi zaman ini, hal itu sering banyak dijadikan senjata untuk memperindah citra diri hanya untuk saling menjatuhkan atau menghancurkan. Budaya yang terjadi adalah kompetisi, bukan kooperatif atau kerja sama dalam membangun lingkungan yang lebih baik.

Kita bisa sebenarnya bisa dan mampu niteni, kebiasaan apa yang sering kita lakukan, antara melampiaskan atau menahan diri? Mencari kenikmatan atau bertahan dalam ketidaknyamanan? Lebih banyak bahagia atau meratapi diri? Lebih banyak kenyang atau terbiasa dengan keadaan lapar? Lebih suka mengkhianati atau dikhianati? Kita sering mendefinisikan cukup atau seimbang, akan tetapi kurang eksplorasi terhadap segala titik yang berlawanan. Apa kita dituntut untuk menjadi sempurna? Terhadap diri sendiri aja belum, apalagi aktualisasi yang diejawantahkan dalam kehidupan bersosial.

Akan tetapi, kita perlu berinteraksi dengan segala yang bertasbih untuk mendapati cerminan diri. Agar intuisi terlatih lebih baik, tidak hanya mampu berlaku adil, namun sanggup bijaksana, syukur mulia. Namun apakah untuk dapat menapaki tingkatan itu, laku diri dengan implementasi pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti paragraf di atas apakah kiranya sesuai dengan ekspektasi diri untuk?

Sekali-kali kamu perlu mengenyam sakit-sakit yang banyak berceceran di emperan jalan, atau yang banyak bersembunyi dari gelapnya malam, yang merintih lirih agar tidak terdengar bahkan oleh sunyinya keterasingan. Sekali-kali kita perlu mendayagunakan pengalaan hidup ini tidak hanya untuk bersyukur atas kebahagiaan dan kemewahan, akan tetapi juga bersyukur atas penderitaan.

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (2:214)

Kita harus tega bahkan terhadap diri sendiri untuk siap menerima segala luka. Hampir hari-hari kita penuhi dengan canda tawa dan kenyamanan. Kekenyangan dan keterpuasan. Dari sekian banyak waktu yang telah kita lalui, kita mampu belajar banyak hal, akan tetapi kita mendapatkan satu makna. Bahwa kita tidak akan pernah bisa lepas dari jeratan lara. Hal itu sesekali akan datang menyapa di antara canda yang tiap hari selalu kita upayakan.

Biarlah luka itu menganga, membuat lubang yang dalam. Karena itulah satu-satunya cara kita mampu melihat lebih jauh dan lebih dalam qalbu yang sudah banyak terhijab oleh hingar bingar kebaikan yang menipu. Biarkan benturan dan gesekan itu menimpa, karena dengan itu kita akan banyak mengenal batas. Batas yang nyatanya tidak hanya satu, namun berlapis-lapis hingga nantinya bisa memperluas potensi kemerdekaan diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline