Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Berpaling dari "Ada"

Diperbarui: 31 Januari 2021   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash

Seperti yang sudah diketahui, keberanian dibutuhkan pada saat berada pada medan pertempuran yang nyata. Bukan saat ide-ide itu banyak tercipta di alam pikiran. Karena pengecut di medan pertempuran yang sesungguhnya pun memiliki keberanian yang sama saat mereka merancang sebuah strategi untuk menaklukkan lawannya.

Lantas, apa medan pertempuran itu dibutuhkan pada saat ini? Sedang kita berada dalam pengawasan teknologi yang memasang banyak CCTV di jagad maya. Segala aktivitas yang memercikkan huru-hara sekecil apapun akan mudah tersorot oleh istilah "booming" karena mayoritas masyarakat merupakan netizen aktif. Lalu medan seperti apa? Model keberanian seperti apa yang kompatibel dengan zaman seperti sekarang ini?

Sedangkan saya sendiri, termasuk salah satu orang yang percaya dengan kekuatan pikiran akan mampu mewujudkan segala sesuatu yang tersimulasi oleh pikiran menjadi nyata. Sedangkan dalam berpikir, kita tidak mungkin bisa lepas oleh rangkaian berpikir sebab-akibat atau jika-maka. Mungkin terdapat sedikit perbedaan yang memperngaruhi faktir keberanian dalam berpikir, yakni kurangnya keimanan yang menimbulkan keragu-raguan.

Mengapa iman dibutuhkan saat berpikir? Hal ini penting untuk membiasakan diri melibatkan Tuhan dalam segala proses aktivitas berpikir. Kita pun memiliki kebiasaan berpikir setelah mendapati suatu informasi, baik itu dari dari informasi tekstual atau pengalaman yang direspon oleh kelima indra yang kita miliki. Siapa yang mendatangkan ide atau gagasan, kalau bukan Dia?

Kita sering mengira bahwa segala sesuatu adalah hasil dari aktualisasi diri. Terlebih kalau itu baik, kita segera mengakui bahwa itu merupakan hasil dari proses berpikirnya. Sedangkan kalau buruk, kita bingung untuk bersembunyi atau bahkan mengingkari hasil berpikirnya sendiri. Mudahnya, kalau baik diakuisisi, kalau buruk hal itu sudah pasti bukan dirinya atau miliknya.

Itulah mengapa di awal disinggung keberanian dalam berpikir, sedangkan kita sering takluk atau bahkan ingkar dengan dirinya sendiri. Sifat ini akhirnya akan lebih mengarahkan diri ke ketidakjujuran, ketidakseriusan, kemunafikan. Disinilah bahayanya jika kita terlalu pandai bermain retorika. Kita terlatih dalam berkelit atau mencari alasan pembenaran, sedang kita rapuh atau rentan dalam laku yang nyata. Termasuk saya sendiri.

Seolah semua merupakan salah satu manifestasi dari sebuah pesan Nabi yang menyatakan bahwa perang kalian akan lebih sulit dari yang beliau lakukan karena perang itu bukan melawan musuh yang nyata, melainkan perang melawan diri sendiri.

Meskipun kita nantinya sudah terbiasa melibatkan Tuhan dalam segala aktivitas berpikir, dan sering banyak menemui segala sesuatunya menjadi nyata. Sekalipun banyak membutuhkan rentang waktu antara pikiran dan kenyataan. Jikalau banyak menemui kenyataan, disitulah tugasnya menahan diri. Bahwa segala sesuatu itu bukan merupakan hasil berpikir dariku. Semua tak lebih dari penglihatan yang diberikan oleh-Nya melalui apa yang pernah disimulasikan dari proses berpikir.

Jadi, jangan lupa akan kesadaran akan Tuhan dari segala sesuatu. Itu bukan "aku"-mu atau siapapun kecuali merupakan kehendak-Nya. Yang kita perjuangkan adalah kesungguhan dalam mengaktualisai pikiran. Sekalipun itu banyak tidak mendapat penerimaan di kehidupan bermasyarakat, tapi jangan mudah putus asa akan segala rahmat-Nya. Jawaban pasti akan segera datang melalui fenomena-fenoena masa depan yang tentu masih ghaib.

Dan juga jangan mudah terpengaruh oleh prasangka-prasangka yang dihadapi. Sebagai makhluk sosial, kita tidak akan bisa menghindari segala sangka tersebut. Kalaupun banyak lingkungan yang tidak menerima atau bahkan mengasingkan kita, jangan jadikan hal tersebut sebagai alasan untuk berhenti berjuang. Kalau kehadiran kita banyak menimbulkan masalah, jangan sungkan. Peran baik atau peran buruk dalam menjadlani kehidupan bukan kita yang memilihnya, kecuali Sang Maha Sutradara.

Kalaupun suatu saat segala daya telah mencapai limitasinya, "Maka berpalinglah engkau dari mereka dan tunggulah. Sesungguhnya mereka (juga menunggu." (32:30) Berpalinglah dari segala "ada" apapun kenyataan yang nantinya akan didapati. Setidaknya kita sudah tak henti untuk selalu menunjukkan itikad baik kepada segala yang Dia cintai. Karena itulah amanat-Nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline