Dalam sebuah perbincangan orang-orang sering beradu capaian mengenai "aku"-nya masing-masing, sekalipun tidak ada yang bertanya. Situasi tersebut secara tidak langsung mengajak orang yang mendengarkannya untuk lebih mengenal si pembawa cerita, apabila yang banyak diungkapkan adalah keakuannya.
Begitupun bagi si pendengar, untuk memahami posisi menjadi pendengar yang baik juga butuh upaya ekstra untuk menahan diri. Terlebih jika yang didengar selalu memacu diri untuk mengatakan bahwa "aku pun telah mengalaminya" atau "itu belum seberapa daripada aku yang... ."
Tentu dibutuhkan racikan porsi dan takaran yang tepat untuk dapat membuat suasana perbincangan itu nyaman ketika dilakukan. Saling memberikan perhatian dengan bergantian melontarkan apa-apa yang telah didapati oleh masing-masing agar dapat saling berbagi kenikmatan. Baik itu ilmu, pengalaman, atau berbentuk hikmah cerita.
Karena bisa jadi cerita-cerita ringan yang saling kita dengar sehari-hari, merupakan sebuah manifestasi masalah problematika dunia. Hanya skala konsekuensi dan proyeksi wilayahnya saja yang berbeda.
Oleh karena itu, fokus dan kecermatan sangat dibutuhkan sebagai sebuah upaya menjadikan segala sesuatu yang kita dengar, lihat, atau ungkapkan sebagai pembelajaran.
Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang dibutakan, ditulikan, ataupun dibisukan. Apalagi sampai dibiarkan golongan-golongan yang telah tertutup pintu hatinya.
Syarat dari semua itu tentunya menyadari hal yang sebenarnya sepele, tapi sangat sulit untuk dipraktekkan. Yakni membiasakan diri menghadirkan kebaikan Tuhan saat mendengar, melihat, atau berbicara, bahkan ketika hati sedang mengalami sebuah fenomena rasa. Jika mampu mengendalikan kesadaran tersebut, lambat laun, eksistensi kata "aku" akan semakin berkurang kehadirannya. Kita akan semakin lebih berhati-hati dan waspada atas apapun yang dihadapkan.
Kalaupun terasa sulit untuk mendapatkan sebuah hakikat kehidupan, cukup dengan banyak-banyak mengingat-Nya akan berdampak banyak terhadap segala aspek pemikiran yang nantinya mempengaruhi pola kebiasaan diri. Karena dua hal terpenting dari konsep penyatuan adalah sadar akan perbedaan dan rela untuk meniadakan diri atau banyak-banyak menghilangkan "aku".
Mungkin saja, kelembutan dan kebaikan ilahi sudah banyak dirasa karena itu semua masuk ke dalam segala sesuatu yang masuk dalam kekuasaan-Nya. Namun, jika kita banyak meng-"aku"-kan diri, dikhawatirkan nantinya kita akan ingkar terhadap segala kebaikan yang telah diberikan. Tentu saja hal ini juga mudah untuk dibantahkan karena sifatnya yang sirr atau hanya diri sendiri yang mengetahui.
Umumnya, orang tidak bisa mengetahui bagian dalam masing-masing orang yang ditemuinya hanya dengan sebuah perkenalan, kecuali hanya mengenali bagian luar atau permukaannya saja. Oleh karena itu dibutuhkan intensitas perkenalan yang lebih banyak, karena dengan mengetahui banyak bagian luar, sedikit demi sedikit kita akan menemukan jalan memasuki bagian isi atau dalam.
Kita akan banyak diberikan fenomena keindahan antara kebaikan ilahi dan upaya kesungguhan, karena kedua hal ini berbeda. Misalnya saja, para nabi mendapatkan kebaikan ilahi tanpa upaya pribadi. Akan tetapi, upaya kesungguhan dan kejujuran diri mampu mengantarkan seseorang untuk mendapatkan kebaikan ilahi.