Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Tidak Lebih Merupakan Bagian "Kaum yang Tidak Mengerti"

Diperbarui: 5 Januari 2021   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

picture by @pieu_kamprettu

Seri Pilot Bangsa berjudul "10% Manusia Menurut Allah" rasa-rasanya telah menjawab dan menegaskan beberapa hal yang sudah beberapa waktu sebelumnya saya tuliskan. Karena, menulis bagi saya sendiri bukan dikarenakan karena saya mengetahui atau ingin memberi tahu seperti umumnya orang menulis. Justru sebaliknya, saya menulis karena ketidaktahuan dan keterbatasan saya dalam memahami sesuatu, pun dengan daya ingat yang pas-pasan.

Saya suka mencari-cari dan menelisik sebuah kemungkinan-kemungkinan yang awam akan sebuah informasi yang terasa, terbaca, ataupun terdengar oleh indera kita. Sekalipun banyak orang telah memastikan kebenaran suatu informasi, tapi saya selalu membuka kemungkinan lainnya. 

Mungkin lebih dikarenakan karena pengalaman mendapati kebenaran yang seringkali justru diperebutkan dan tak sedikit kebenaran tersebut justru menjadi pemicu konflik antar kelompok. Kebenaran yang tidak memperbesar peluang datangnya rahmat Allah, yang tak jarang jika lepas kendali diri justru mempersempit bahkan memutus.datangnya rahmat tersebut.

Mungkin juga karena saya yang salah berada di lingkungan pergaulan. Yang suka memandang sesuatunya dengan membanding-bandingkan. Selalu lebih menitikberatkan kepada kelemahan daripada kelebihan. 

Bahkan mirisnya, secara tidak langsung sering menilai sesuatu dari apa yang nampak di permukaan, tanpa mencoba untuk tabayyun terhadap betapa penuh retorika dan dinamisnya sebuah kehidupan.

Kembali ke Pilot Bangsa, setidaknya ada tiga poin utama yang saya dapati ketika melihat video dengan durasi 10 menitan tersebut. Poin pertama saya mendapati istilah "qaumul laa yafqahun" yang menurut Mas Sabrang menjadi kunci untuk membaca porsi persentase perbandingan 10-80-10. 10% atas merupakan orang-orang yang memang memiliki ketrampilan sebagai seorang pemimpin/pilot. 80% merupakan gambaran masyarakat pada umumnya, dan sisa 10%-nya merupakan orang yang sangat sulit sekali untuk berubah dari kebiasaannya, kecuali tanpa pertolongan Allah.

Qaumul laa yafqahun sendiri memiliki arti kaum yang tidak mengerti. Dan dalam redaksi lengkapnya di Surat Al-Anfal ayat 65, kaum yang tidak mengerti ini merupakan ciri dari orang kafir. Dan dari sebuah tadabbur tulisan dengan judul yang sama, yakni Qaumul laa Yafqahun, saya mencoba sedikit mengajak para pencari makna untuk jangan ge-er dengan kebiasaan yang telah kita lakukan sekalipun itu merupakan hal yang baik. Kita belum benar-benar mengetahui bahwa diri ini sudah termasuk golongan yang sudah mengerti. Dan saya pun dengan mencoba memberikan simulasi pertanyaan yang saya ambil dari tulisan Mbah Nun dalam Manifestasi keajaiban untuk mengukur diri, yang intinya kurang lebih, sudah tepatkah peran kita sekarang?

Kira-kira, kita akan memposisikan diri di sebelah mana jika kita benar-benar menjadi orang yang telah mengetahui? Mbah Nun pernah menawarkan sebuah cara pandang, kira-kira jika dari 73 golongan hanya terdapat satu yang merupakan golongan Kanjeng Nabi, golongan mana yang akan kita pilih? Apakah kita bisa mengidentifikasi 1 golongan itu? Apakah golongan itu merupakan sebuah lembaga resmi yang secara resmi terdaftar di pemerintahan?

Mbah Nun memberikan jawaban yang kurang lebihnya merupakan sebuah nasihat yang sangat mungkin menjadi prasangka bagi orang-orang yang malas mendayagunakan akalnya, beliau menyampaikan bahwa selama masih hidup, beliau akan lebih memposisikan untuk menjadi golongan yang kafir, agar diri ini tak mudah puas diri dan terus-menerus memacu diri untuk tidak berhenti mencari dan belajar.

Begitupun qaumul laa yafqahun yang saya maksud adalah memposisikan diri sebagai kaum yang tidak mengerti, agar diri ini setidaknya terhindar dari rasa tinggi hati sehingga mudah merendahkan yang lainnya. Terhindar dari rasa bahwa dirinya merasa menjadi yang paling baik. Hidup ini bukan ajang kompetensi kecerdasan dan kelihaian bersilat lidah. Hidup ini merupakan ajang untuk berlomba dalam kebaikan. Yang mana kebaikan itu merupakan hasil aktualisasi diri dari sebuah proses pengolahan iman dan taqwa secara terus-menerus.

Ketika orang menapaki sebuah ilmu, pada tingkat pertama sudah pasti akan merasa tinggi hati. Pada tingkat kedua, ia akan mulai merasa sanggup untuk berendah-hati. Dan puncak dari orang yang berilmu, justru bahwa dirinya merasa tidak atau belum mengetahui apa-apa karena begitu luasnya ilmu dar Sang Maha Mengetahui. Andai kita pandai bermain retorika terhadap diri sendiri, tentu tidak mengapa diri ini dianggap menjadi bagian dari "qaumul laa yafqahun".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline