Selama kita memegang berani memegang komitmen, kesetiaan menjadi laku yang mewujud dalam perilakunya. Di dalam kehidupan, semuanya akan menemui betapa dinamisnya jalan yang mesti ditempuh.
Begitu juga dengan kesetiaan. Jangan sangka jika memegang kesetiaan, kedamaian akan menjadi buah yang akan dipetik. Justru sebaliknya, godaan perpisahan akan menjadi hal yang sering ditemui ketika kita memegang kesetiaan.
Kita hidup mencari kedamaian ataupun ketenangan. Tapi bukankah kedamaian itu seperti sambaran kilat dalam kehidupan? Padahal, siang dan malam telah banyak dihabiskan demi mencapai sebuah ketentraman. Mungkinkah kita bisa memelihara kilatan itu di dunia ini dan menjadikan ketentraman itu menjadi sebuah tujuan?
Sekalipun di permukaan kita sanggup memanipulasi rupa dan laku seolah-olah ketentraman itu telah didapatkan. Akan tetapi, batin akan terus bergejolak. Nggresulo atau mengeluh terhadap keadaan yang mungkin tak kunjung membaik.
Seseorang pernah datang kepada Nabi Muhammad dan berkata, "Saya mencintai Engkau."
"Berhati-hatilah atas perkataanmu," jawab Nabi.
Sekali lagi lelaki itu mengulang, "Saya mencintai Engkau."
"Berhati-hatilah atas perkataanmu," Nabi memperingatkan kembali.
Tetapi ketiga kali dia mengatakan, "Saya mencintai Engkau."
"Sekarang diam, dan teguhkanlah," Jawab Rasul, "karena aku akan membunuhmu dengan tanganmu sendiri. Sengsaralah engkau!"
Jika kita telah mencoba mengenal, memahami, dan setia terhadap Kanjeng Nabi. Untuk menggapai cinta sebelum mengalami proses penyatuan, ada jurang dan tebing pengorbanan yang mesti ditapaki. Mungkin itu yang dimaksud kata-kata cinta itu akan membunuh dengan tangan kita sendiri dan menjadikan kita sengsara.