Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Ketidakhadiran

Diperbarui: 12 Oktober 2020   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash/akhsar-dave

Sebelum ini, hampir semuanya merupakan makna akan sebuah kehadiranmu. Bukan untuk siapapun, kecuali hanya engkau seorang. Aku sudah terbiasa mengamati pohon itu tumbuh, dari sekedar tunas hingga bunga-bunga itu kini telah bermekaran. Layaknya sebuah rasa yang awalnya hanya berbentuk seperti tunas, hingga akhirnya mampu memberikan banyak keindahan di waktu aku harus pulang.

Kini, musim penghujan telah kembali lagi. Aku lupa sudah berapa banyak waktu kenangan itu tersimpan dalam riuhnya rintik hujan. Aku tidak tahu kenapa aroma tubuhmu semakin mewangi ketika musim penghujan tiba. Seolah menggugurkan daun-daun keangkuhanmu selama musim kemarau, dan bersiap menumbuhkan lebih banyak keindahan kala musim penghujan ini tiba.

Bagaimana mungkin aku bisa berkata bahwa engkau mengabaikanku? Ketika aku dituntun untuk mengacu setiap acuh yang kau isyaratkan? Bagaimana mungkin aku berkata bahwa engkau meninggalkanku atas ketidakhadiranmu? Saat kau tak henti membisikkan lirih tentang hangatnya asih dalam ketiadaan. Saat cinta itu lebih bermakna dalam kegelapan dibandingkan dalam sebuah ruang yang penuh dengan cahaya.

Kedatangan tak selalu bermakna kebahagian. Adakalanya, kedatangan itu hanya menimbulkan problematika baru atas sesuatu yang didatanginya, yang tidak memperdulikan seberapa besar keranjang perhatian yang engkau bawa.

Pernah, aku mesti berjalan dalam tajamnya duri prasangka yang mereka sematkan kepadaku dalam ruang yang katanya menjunjung tinggi kebersamaan.

Dan, dari yang terkecil hingga terbesar, keadaan seperti itu selalu tercipta. Dari benak tiap jiwa manusia telah dibekali oleh kefasikan dan ketaqwaan. Pertentangan dalam diri itu pun pasti tercermin dalam lingkaran kebersamaan-kebersamaan itu, tak peduli bagaimana halus kasarnya permukaan yang nampak.

Benar salah selalu tercipta dalam sebuah konsep yang terbangun. Prasangka dan kenyataan selalu berjalan beriringan. Kebahagiaan ataupun kesediah selalu menjadi konsekuensi atas putusan yang telah berani diambil.

Pertama-tama, keindahan itu muncul oleh karena aku banyak melihatmu. Hingga kerinduan itu terbesit yang lambat laun menjadi candu. Aku enggan jika penglihatan atasmu akhirnya hanya akan menjadi kurunganku.

Karena engkau sendiri bukan hanya bermakna akan sesuatu yang nampak. Engkau juga kata-kata yang memberi makna, dan engkau pun juga membuatku banyak mendengarkan kelembutanmu.

Lantas, cinta itu tumbuh liar tanpa harus mendatangkan raga. Tiap-tiap kata bahkan alunan nada yang datang selalu menyimpan isyarat yang memanifestasi rasa cinta itu sendiri.

Dari tempat itu, aku banyak menguak, "Tidak ada sesuatu pun di sana, yang tidak memuji-Nya" (17:44). Dan untuk mengatakan keberadaan itu, aku tidak butuh lagi sesuatu yang logis atas kepalsuan-kepalsuan yang merebak para sahaya-Mu.

***

12 Oktober 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline