Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Menyandarkan Diri terhadap Ketiadaan

Diperbarui: 20 Agustus 2020   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Malam akan menguakkan kemunafikan orang-orang atas ketidakberdayaannya atas pertunjukan laku yang biasa dilakukan pada siang hari. Hingga mereka menciptakan ruang yang tak terbatas oleh siang dan malam yang menghambat pertunjukannya. Orang-orang masih saja berebut untuk mencari perhatian dan pengakuan atas dirinya.

Hal itu tidak berlaku bagimu. Engkau selalu sibuk di setiap waktu. Hingga tatap ataupun canda itu sangat jarang sekali terlihat baik di siang ataupun malam. Hal yang membahagiakan dan memberi tenaga setiap kali melihatmu, meski dicari ulang rumusannya agar aku tak kehilangan cara untuk selalu tetap mencarimu.

Tidak pernah berhenti ini bukan berarti terlalu obsesif. Kata-kata yang tercipta pun bukan pula untuk mengejar sebuah pengakuan. Atau seluruh isyarat yang diketahui agar menarik perhatianmu terhadapku. Karena ketika aku berjalan, berlari, atau bersembunyi dibelakangmu, ketahuilah bahwa sekali-kali hal tersebut dilakukan karena hasratku ingin menjadikanmu sebuah sandaran jiwa.

Rasa kenyang atas kemunafikan, ketidakselarasan antara laku dan kata, bahkan menyepelekan waktu demi waktu yang berangsung berulang-ulang. DImana semua itu hanya akan terjadi apabila kita telah menyandarkan diri pada manusia. Itu adalah hal yang umum terjadi. Tidak semua akan bertahan lama jika sandaran itu dtempatkan kepada manusia.

Kami adalah milik Tuhan, dan kepada-Nya kami pasti akan kembali (2:156). Ayat tersebut selaras dengan sabda "jangan sandarkan diri kepada manusia". Kita terlalui banyak berharap kepada manusia. Kita terlalu banyak menuntut balasan kepada manusia atas apa yang telah kita lakukan. Kita terlalu banyak menagih hutang atas apa-apa yang sebenarnya sejatinya bukanlah milik kita.

Dan apabila hal itu bermekaran menjadi sebuah rasa cinta atau rindu kepada seseorang. Aku hanya ingin engkau membaca bahwa kedatanganku bukan menjadi awal harapanmu atas sesuatu yang ingin kau petik dan miliki keindahan tersebut. Sebuah kedatangan dalam sebuah pertemuan tak lebih dari seutas tali asih dari Sang Maha Pencinta yang inginmengajarkan tentang ketulusan, kesetiaan, bahkan keabadian.

Karena dari segala hal di dunia ini, tidak ada yang bisa dijadikan bekal untuk mengarungi perjalanan di dimensi alam yang berbeda. Tidak ada yang bisa dijadikan sandaran yang dapat menembus batas dimensi keduanya, kecuali Sang Haqq dan kekasih-Nya.

Namun, yang ada kita hanyut dalam derasnya arus cinta terhadap diri sendiri. Sedang diri ini sama sekali tidak benar-benar mengenal diri sendiri. Lalu, bagaimana bisa kita memberikan cinta kalau bukan untuk memuaskan hasrat diri? Tentu saja tidak ada benar dan salah karena setiap perjalanan memiliki tikungan dan pemandangan yang berbeda-beda. Kendaraan yang digunakan pun tak bisa disamakan satu dengan yang lainnya, karena Ia telah memberikan ukuran-ukuran tertentu sesuai dengan kapasitasnya.

Tidak ada yang bisa mengambil jalan atau memutus asa. Karena jalan yang tercipta atau asa yang menyeruak sama sekali bukan merupakan suatu kehendak diri. Aku tidak akan berlari karena kita selalu dipertemukan hampir setiap hari, dengan atau tanpa sebuah pencitraan.

Aku mencari tidak untuk memiliki. Aku pergi bukan untuk menemukan. Aku tinggal bukan untuk berkuasa. Aku belajar bukan untuk menjadi baik. Aku bicara bukan untuk didengar. Bahkan, aku menulis kata pun bukan untuk dibaca.

Semua itu merupakan wujud akan sandaranku terhadap ketiadaan. Kesunyian. kehampaan. Yang menampung segala keberadaan. Termasuk terhadap dirimu, kasih. Teruslah menghadap ke depan, jangan kau berpaling terhadap sayu-sayu kepalsuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline