Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Ia Menginginkan Ratapanmu

Diperbarui: 4 Agustus 2020   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Saya sedikit berangan-angan tentang doa yang mengajak sorang hamba untuk menempa harapan. Bagaimana doa-doa itu tak henti menyapa langit dengan gigihnya meski dilafadkan berulang-kali. Jika ditanya tentang Tuhan, kita juga belum tentu benar-benar memahami antara percaya "adanya" Tuhan atau percaya "kepada" Tuhan.

Manusia sebagai hamba sesungguhnya memang diciptakan lemah agar memahami salah satu sifatNya Yang Maha Kuat. Terlebih kita juga dibekali dengan sifat yang agung, agar kita berkenan untuk berendah hati. Agar kita tak sungkan untuk memohon karena ada Dia Yang Maha Memberi Pertolongan.

Tapi, kebiasaan kita yang tak pernah puas akan sesuatu. Bahkan, doa seperti todongan pistol yang diarahkan agar keinginannya cepat-cepat diijabahi. Benar jika sudah memiliki usaha berdoa saja sudah bagus jika itu diungkapkan di depan banyak orang. Namun untuk diri sendiri, usaha dalam berdoa itu akan menjadi cerminan betapa malasnya kita memohon, betapa egoisnya kita menginginkan sesuatu.

Bukankah Tuhan juga cemburu terhadap sikap cengeng yang ditunjukkan, karena manusia selalu menomorsekiankan Tuhan. Sebelum berdoa, pernahkan sedikit saja kita membayangkan betapa banyak rahmatNya telah menaungi kita? Betapa banyak cinta yang telah diberikanNya tanpa meminta? Betapa gigih perhatianNya untuk melindungi segala gerak-gerik kesembronoan manusia?

Keadaan itu membuat saya memutar balik cara pandang terhadap minimnya doa yang dikabulkan, jarak atau rentang waktu yang dibutuhkan agar doa-doa diijabahi. Permasalahannya bukan pada objek, karena Dia Maha Kuasa. Tak ada yang tak sanggup diciptakanNya, Kun Fayakun! Melainkan, ratapan kesungguhan. Pada akhirnya, mereka hanya lalai setelah terkabulnya sebuah keinginan dan kebiasaan tersebut yang menjadikan kita semua bernama manusia.

Kita memiliki sesuatu yang terus-menerus untuk dipelajari. Dengan usaha yang kecil namun ingin mendapatkan perhatian yang maksimal merupakan selemah-lemahnya iman. Hal ini pun tak bisa begitu saja lepas dari diri sendiri. Kalaupun diri berhasil lolos, kelemahan itu akan selalu mengincar diri untuk kembali lagi dengan ikatan yang lebih kuat.

Selanjutnya kita sadar, bahwa doa adalah sebuah kebutuhan bagi yang sadar bahwa dirinya hanyalah seorang hamba sahaya. Dia membutuhkan ruang untuk menegaskan kehambaan dan kepasrahannya sebagai wujud dari tulus dan kesetiaannya. Dalam wilayah ini, mayoritas pejalan percaya bahwa Tuhan ada.

Berikutnya, terdapat wilayah muhabbah, mencinta. Doa sudah bukan lagi menjadi sebuah kebutuhan. Doa merupakan tempat pencinta melantunkan sapaan-sapaan kepada kekasihnya. Doa menjadi sebuah candu karena hanya dengan doa para pencinta ini sanggup menuntaskan rasa rindunya. Bahkan, doa baginya bukan seperti umumnya orang sedang melakukan ritual doa. Karena, kemanpun pencinta ini menghadap, Dia sedang menatap wajah kekasihnya. Kita tidak akan pernah bisa menilai tentang bagaimana cara pencinta ini memesrai kekasihnya.

Yang terakhir tidak bisa dijelaskan. Apabila Tuhan menegaskan bahwa jangan kau kira engkau telah sanggup melempar, kerena sesunggunya Dia-lah yang melempar. Manusia akan menggunakan segala pandangan Tuhannya, bahkan dalam meminta atau memohon. Setidaknya hanya satu yang akan tertulis, disaat Dia sanggup mengabulkan segala permohonanmu. Di sisi lain, ternyata Tuhan lebih suka dengan ratapanmu.

Dia memberi sesuatu yang lebih besar ketika masing-masing dari kita meratap, lebih dibandingkan apa yang diinginkan dan dibayangkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline