Sekali lagi, beruntunglah mereka yang mampu membebaskan diri dari jerat informasi-informasi yang begitu masif setiap hari. Topik apapun itu. Beruntung mereka yang merdeka terhadap diri sendiri agar tidak mudah terpengaruh oleh sesuatu apa yang ada di luar dirinya. Beruntunglah mereka yang selalu menimbag diri untuk tidak sedetikpun melepaskan peran Tuhan dalam segala urusan yang dilakukannya.
Tentu saja, manusia selama hidupnya tidak pernah menapaki kebenaran yang sejati. Sekalipun, ia telah berhasil memutuskan sebuah perkara yang telah disepakati oleh banyak orang, apakah hal itu lantas membuat dirinya merasa benar? Sedangkan, sesuatu apa yang disepakati orang yang lebih sedikit lantas bermakna kesalahan? Hidup itu dinamis, tidak statis. Setidaknya dinamis itu memberi sebuah pertanda bahwa yang banyak belum tentu benar, pun dengan yang sedikit belum tentu salah.
Tetapi, waktu adalah sesuatu yang statis. Lajunya selalu saja seperti itu. Membuat manusia semakin termakan usia, mengantarkan diri mereka ke gerbang kehidupan berikutnya. Atau adakah keabadian selama di dunia? Adakah sesuatu yang pada akhirnya tidak hilang bahkan hancur di dunia ini? Sesuatu yang kekal dan abadi, adakah?
Manusia yang dibekali akal untuk mengarungi perjalanan waktu tersebut, memiliki bermacam-macam cipta, rasa, ataupun karsa yang menjadikan manusia akhirnya memiliki sebuah peradaban. Dimulai dari meramu, bercocok tanam, berburu, kerajaan, industrialisme, kapitalisme, perang dunia, hingga sampai titik waktu pada masa saat ini. Tidak semua memahami fungsi akal, melainkan tak lebih dari sebuah chip yang membuat diri mereka sombong, bahwa mereka diciptakan lebih mulia daripada makhluk yang lain.
Akal tidak menunjukkan sesuatu yang lebih memuliakan manusia, kecuali bagi manusia yang pintar menahan diri dengan sabar. Sebagai sebuah contoh pada masa pandemi ini, adakah akal manusia mampu menyelamatkan manusia dari kemungkinan terjangkit wabah atau menyangkal kematian yang terjadi? Adakah akal manusia mampu menerobos sesuatu yang ghaib sehingga membuatnya merasa aman dari segala ancaman yang memungkinkan datang pada suatu saat nanti? Adakah akal mampu meraba sesuatu yang ghaib?
Sehingga apapun yang menjadi kesepakatan banyak orang untuk memblokade masa depan hingga menjadi sebuah kebenaran yang harus dianut sangatlah konyol. Akal tak mampu memastikan sesuatu yang ghaib tapi kita mesti tunduk oleh kesepakatan umum? Salahkah jika peran Tuhan lebih diutamakan untuk meraba yang ghaib daripada mengutamakan akal? "Ketika akal kita tak mampu mempercayai sesuatu yang tidak logis (ghaib), maka kita butuh iman." Kira-kira begitu pula wejangan dari Simbah.
Jangankan masa depan, terhadap kelembutan Coronavirus pun manusia masih terlalu sombong dan angkuh mengandalkan akalnya untuk menyatakan perang. Padahal, sudah jelas-jelas akalnya tak mampu menitahkan penglihatan untuk menampakkannya secara jelas. Akal hanya berpikir sebuah tindakan spekulatif dengan dasar akan sebuah data-data fakta untuk dianalisis sehingga mampu mensinergikan segala faktor menjadi sebuah langkah solutif menghadapi sesuatu yang ghaib.
Manusia menganggap hal itu merupakan sebuah ikhtiar ataupun ijtihad dengan kemampuan akal dan nalar yang telah dimaksimalkan. Mereka telah termasuk dalam golongan orang-orang yang berfikir karena telah mendayagunakan akal yang dianugerahkan. Tapi apakah manusia lantas termuliakan karena telah berpikir? Sedang hewan pun demikian, karena mereka juga memiliki akal untuk berpikir pula.
Sampai dalam fase ini, akal ternyata bukan hanya untuk berpikir, akan tetapi berfungsi juga menjadi sebuah jalan penunjuk. Sebuah penunjuk yang membedakan keputusan-keputusan pilihan yang dibuat antara dirinya dengan ciptaan makhluk Tuhan yang lain. Manusia sudah disuruh beriman kepada sesuatu yang ghaib, tapi mereka tidak menjadikannya rahmat dengan menahan diri dengan sabar. Sehingga mereka memilih untuk membuat sebuat tipu daya dan enggan untuk menunggu.
"Dan mereka berkata: "Mepada tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu keterangan (mukjizat) dari Tuhannya?" Maka katakanlah: "Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah, sebab itu tunggu (sajalah) olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu.""
Dengan segala persiapan yang dibuat meski dengan asumsi bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah innovasi, kreasi, ikhtiar, atau ijtihad sekalipun. Utamanya, kita mesti bersabar terhadap segala rasa 'merasa' yang mungkin membuat diri ataupun golongan terjerumus ke sifat kesombongan. Karena penekanan utama yang dilakukan bukan 'atas rahmat Allah Swt', melainkan 'sebuah langkah antisipasi' dengan berbagai bentuk wujudnya.