Sekitar pukul 09.30, saya mendapatkan email dari salah satu warta media yang mengandung kabar bertajuk "Nekat Mudik, Pemerintah Siap Berikan Sanksi". Dalam hati saya lantas bergeming menyatakan jika tidak seharusnya Pemerintah menegaskan sikap seolah Dia berkuasa atas rakyatnya. Dan, dari media pewarta pun menegaskan keambiguan seolah Pemerintah bersikap seenaknya sendiri. Meski subjektivitas saya sangat yakin, tujuannya bukan lain adalah demi kebaikan bersama dan seluruh masyarakat.
Penyampaian kata perintah atau larangan disini menjadi sangat penting, mengingat kegiatan mudik sendiri adalah kegiatan yang pasti ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Bukan hanya milik warga muslim, tapi warga non-muslim pun ikut menikmati nuansa mudik saat libur Hari Raya Idul Fitri. Jika Pemerintah memberikan larangan mudik hanya kepada para aparatur pemerintahan dan negara, itu masih bisa dimaklumi. Akan tetapi, jika Pemerintah melarang mudik takyat yang notabene adalah juragannya, kalau dalam bahasa jawa mungkin bisa dikatakan "nglunjak".
Bahkan, membuat keputusan pun secara sepihak, tanpa menyertakan rakyat untuk diajak berkompromi. Oh, mungkin tidak sekalipun rakyat pernah diajak rembugan langsung. Dewan yang dibentuk untuk menjadi wakil rakyat pun tak lebih sebatas formalitas biar menjadi ruang bagi orang-orang genius untuk berkumpul. Jadi, Indonesia beruntung memiliki rakyat atau juragan yang selalu tenang-tenang saja meski sering dibohongi dan dicurangi oleh para pegawainya. Jika ketahuan mencuri uang rakyat, para pegawai silahkan membuat aturan untuk menghukum diri sendiri. Pol mentok paling ya mung misuh!
Hal pertama jika ada hubungan saling mencintai, terutama rasa terimakasih Pemerintah atas juragannya, seharusnya opsi pertama adalah menyediakan fasilitias. Memikirkan cara untuk meng-upgrade fasilitas, baik dalam segi keamanan, kenyamanan, timing, dsb. Yang memungkinkan rakyat ketika mudik meminimalisir diri menjadi carrier wabah yang bisa membantu penyebaran virus tanpa disadari.
Tapi,meski segala kebijakan nampak berpihak kepada rakyat. Tapi, kelas yang mana yang dibela? Kaum borjuis, kaum brahmana, atau kaum sudra? Lantas bagaimana keadaan kami yang tak lebih hanya sekedar kaum emperan atau protolan? Pernahkan didengar atau dilirik? Jika ilmu atau gaya hidup pun tak pernah jelas dengan kriteria orang-orang yang perlu didengar dan dipatuhi. Hanya dikasihani, dipandang sebelah mata, diremehkan, semua itu sudah menjadi hal yang wajar bagi kami. Tapi, itu semua tak lantas menjadikan kami sebagai pengemis jabatan atau tahta, terlebih menggantungkan harapan kami kepada cinta-cinta palsu yang sering diumbar mendekati periode obral kursi-kursi jabatan.
Sampai kapanpun, jika keadaan seperti ini, terutama dengan minimnya pengetahuan dan antisipasi yang seadanya. Kita "hanya bisa" atau mungkin "sengaja dibiarkan" menunggu. Dari pelepasan para Narapidana, hingga kini isu pencurian yang masif sebenarnya memungkinkan untuk dibaca skenario atau wacana dari mereka-mereka yang menginginkan keresahan. Mereka pembuat kebijakan aman-aman saja dari ancaman serba kekurangan. Sementara kami para rakyat, hanya bisa bertahan.
Baik, mungkin ketakutan bukan menjadi suatu masalah lagi bagi kami. Momentum Ramadhan kini dibatasi pula demi kebaikan. Tapi, hal ini sangat riskan karena keberangkatan disini bukan hanya menahan diri dari hal-hal yang bersifat jasadiyah. Ramadhan adalah transformasi batiniyah. Sebuah kerinduan untuk kembali fitrah. Dimana banyak curahan rasa tercurah diantara pertemuan dengan sanak keluarga.
Adakah hak dari mereka untuk memberikan sanksi oleh karena rasa rindu yang menggebu? Rancu. Wagu. Atau mungkin dalam bahasa jawa ada istilah wasis yang sedikit bisa mewakili fenomena esok hari saat lebaran. Jika hal tersebut memang demi kebaikan dan kemashlahatan ummat, sekalipun rasa sedih menjadi harga yang belum bisa dipastikan. "Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah."
Tapi bagaimana mungkin kami tidak sedih, sedang mereka atau mungkin kami (aku) sering sembrono dan mengingkari peran Tuhan dalam wabah pandemi ini? Seolah-olah, kami merasa sanggup dan yakin akan segera menuntaskan segera peristiwa pandemi ini. Sedang sikap yang diambil selalu tidak selaras dengan sesuatu yang diungkapkan.
Mudik memang perlu sebuah kenekatan atas rindu dan permintaan maaf yang mesti segera dituntaskan. Asalkan syarat-syarat saling mengamankan dan menjaga atas dasar ungkapan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang bermanifestasi menjadi rasa kasih dan rasa bersalah kepada keluarga yang mengharuskan diri untuk segera memohon maaf. Tentu, tidak ada jaminan karena keselamatan di mata manusia berbeda dengan keselamatan dari Pandangan Allah Swt. Semua tergantung keberangkatan niat masing-masing.
Semua menjadi salah apabila telah dilalui menurut sangkaan-sangkaan penilaian orang lain. Pulang bukan berarti "telah sampai" atau "sedang menuju", melainkan "akan ke-". Memang dibutuhkan kenekatan untuk menjajaki jarak dan jalan-jalan yang tidak ada jaminan 100% untuk memastikan akan sampai tempat yang dituju. Jadi, ketika engkau ingin pulang. Pulanglah! Dan janganlah bersedih... Bukankah hidup adalah belajar untuk menemukan jalan kembali "pulang kampung"?