Kata-kata pun terkadang merasa kesepian jika ia harus berjuang sendirian untuk menenagkan hingga mampu memberikan perlindungan di tengah histeria kepungan wabah yang mematikan. Sebelumya, kata-kata itu menuntun kita agar selalu berhati-hati bukan terhadap virus, melainkan terhadap kata-kata diri sendiri yang sering terkesan takkabur atau sombong.
Benar saja, akibat akses kemudahan untuk mendapatkan sebuah informasi. Semua berlomba-lomba untuk membagikan kebaikan agar penyebaran virus tidak semaikin meluas, atau agar mampu meminimalisir penyebaran wabah yang mulai menyambangi lingkungan terdekat.
Kata-kata ini tersusun hanya untuk sebisa mungkin menemani, berjalan bersama meski berbeda dimensi ataupun ranah intelektualitas yang sangat jelas berbeda. Namun, cinta selalu menuntun untuk memberikan apa saja yang sanggup untuk dimaksimalkan untuk menemani agar kata-kata itu sendiri tidak kesepian dari kesunyian itu.
Sedari pertama kita diajak untuk sadar akan peranan Tuhan khusus dalam kasus pandemi Corona. Sadar bukan berarti lantas menanyakan "dimana" atau "kapan", karena Tuhan sendiri terlepas dari ruang dan waktu, sedang Covid-19 ini adalah wujud yang lembut meski mata telanjang tak mampu untuk melihatnya.
Jelas peranan Tuhan disini mesti disadari, karena sebaik apapun kita mengantisipasi diri agar terhindar dari wabah. Apabila Tuhan berkehandak, lantas apa yang bisa kita berbuat? Dia-lah pemilik segala-galanya, Dia-lah Sang Maha Pencipta meski harus melalui perantara tangan-tangan manusia. Adakah suatu kejadian tanpa andil Tuhan? Disaat Tuhan sendiri selalu dalam kesibukan.
Muraqabah sangat penting untuk dijadikan pondasi dalam melakukan tugas manusia sebagai khalifah di semesta yang dititipkan. Jika kita sedang melakukan suatu ibadah, anggaplah Tuhan selalu mengawasimu. Dan apabila kamu tidak bisa melihat Tuhan, percayalah Tuhan pasti selalu mengawasimu. Kita tidak bisa menggantungkan hidup pada kesementaraan- termasuk manusia-, karena sudah pasti ia hanya akan mendatangkan kekecewaan. Kecuali ketulusanmu mampu menembus dua dimensi sekaligus, yaitu kehidupan dan kematian.
Ketika kacamata muraqabah tersebut sudah bisa dipakai dengan nyaman, adakah pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan oleh Simbah mengenai Muhasabah Corona bisa kita jawab dengan seksama. Tentu, siapapun boleh menjawab maupun meneliti pertanyaan tersebut. Dengan sudut keilmuan atau keahlian yang sudah mulai dikenal oleh masing-masing diri sangat mungkin muncul bermacam variasi jawaban.
Namun, adakah kita mencermati sedikit saja urutan dari pertanyaan tentang muhasabah tersebut? Dari penggalan frasa segala akibat pasti ada sebabnya, sampai Para Ulul Albab milenial yang sedang mencoba untuk berkompetisi dengan kecanggihan teknologi Tuhan.Dari yang pertama siapakah yang menciptakan Covid-19 hingga siapa yang bersalah? Sekelompok manusia, satu bangsa, atau seluruh ummat manusia? Dan pertanyaan tersebut mengarahkan diri untuk bermuhasabah tentang kesalahan dan hukuman.
Apakah lantas kita menyalahkan si Covid-19 ini sedangkan dia hanyalah alat? Virus ini memiliki naluri seperti parasit pada umumnya, dimana dia hanya akan tumbuh dan berkembang biak sesuai dengan habitatnya. Yang menyebabkan kematian pun tidak bisa 100% menyalahkan virus ini, karena dia hidup pun sebagaimana hewan ingin makan dan berkembang biak.
Seandainya virus yang tumbuh pertama di Wuhan ini memang ada segelintir oknum penciptanya, dendam atau kepentingan apa yang mereka sedang lakukan hingga tega menutup mata atas meninggalnya puluhan ribu orang? Ataukah memang itu peran yang dipercayakan oleh Sang Maha Hidup dengan mematikan rasa ketidaktegaannya demi membalas dendam atau kepentingan apapun itu.
Dan dengan keberangkatan kacamata muraqabah, pada akhirnya muhasabah tersebut hanya akan memantaskan diri untuk menerima hukuman atas segala khilaf yang telah dilakukan sekecil apapun dosa yang telah diperbuat.