Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Entong dan Kopinya

Diperbarui: 27 Februari 2020   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muhammad Abdul Mukti

Di setiap acara maiyah, baik sinau bareng CNKK atau simpul, jangan pernah menyangka akan menemukan sedulur ini di kerumunan para jamaah. Dia hanya akan menikmati setiap acara dari barisan paling luar, sembari menyajikan kopi sebagai booster para jamaah untuk siap siaga mengarungi malam untuk melahap ilmu-ilmu yang tersaji prasmanan sepanjang acara.

Salah satu penyaji kopi itu adalah sedulur maiyah dari Magelang bernama Muhammad Abdul Mukti atau lebih sering disapa akrab "Entong". Entong ini telah mengikuti maiyah sejak tahun 2012 di Mocopat Syafaat. Keinginan berjualan kopi di acara maiyah pada mulanya berangkat ketika melihat Cak Soni (Surabaya) berkeliling menjajakkan kopi sekitar tahun 2013. Dan pada tahun itu pula Entong mulai mencoba berjualan, meski awalnya belum pede untuk berkeliling seperti seniornya tersebut.

Seorang pria lajang yang kini telah menginjak usia 30 tahun. Sebelum mulai tertarik dengan kopi, Entong bekerja di tempat percetakan/sablon di daerah Gamping. Namun, kopi pada akhirnya seperti menarik dirinya untuk lebih intim kepada kopi itu sendiri. DI sekitaran tahun 2013 hingga 2016, Entong selalu rajin mengikuti acara sinau bareng Mbah Nun dan Kyai Kanjeng sampai ke wilayah Jawa Timur. Dengan menggunakan sepeda motor dan kerombongnya.

"Pas jaman kui sing dodol kopi iseh sitik, paling mung piro. Nek eling ki ya nyenengke tenan, ge mlaku pirang langkah, kopine mesti wes langsung entek." Kata Entong berbagi kenikmatan ketika berjualan kopi. Memang benar, bagi para penjajak kopi, si Entong ini termasuk salah satu yang bisa dibilang senior. Jadi pernah, ada kelompok penjual kopi dari Timuran yang datang ke sekitaran Tengah, merasa pakewuh ketika melihat si Entong. Karena Entong ini cukup unik, sekarang ketika banyak yang sudah jualan kopi keliling, dia lebih memilih mengalah dan gak keliling. Dari situlah timbul rasa sungkan dari penjual yang lain melihat Entong yang justru memilih tidak berkeliling.

Yang namanya cerita, tentu tidak selalu hanya diberikan rasa manis. Rasa pahit pun terkadang sengaja dihadirkan agar mengalami gejolak dalam proses menuju kemuliaan. Jangan hanya sangka para penjual kopi itu tidak sopan atau apa dengan selalu berkeliling sesuka hati di antara para jamaah. Mereka yang berjualan juga sedang berjuang mencari penghidupan demi keluarganya.

Dengan alasan ketertiban dan kenyamanan, mereka sering dianggap sebelah mata. Namun, apabila sudah terbiasa mengikuti acara sinau bareng CNKK, lama-kelamaan jamaah akan memahami, bahwa mereka adalah bagian dari ruang yang sama dan tidak bisa dipisahkan. Sekalipun larangan-larangan berjualan seringkali ditertibkan oleh para panitia atau Satpol PP.

Di dalam simpul Maneges Qudroh sendiri, perannya mungkin tidak terlihat ketika rutinan. Namun, hampir setiap kopi yang tersaji adalah hasil racikannya. Bagian konsumsi seperti sudah menjadi panggung khusus buat Entong demi kenyamanan para jamaah.

Jadi pernah, suatu saat ketika dirinya berjualan kopi dalam salah satu acara bareng, ada jamaah yang minta tolong untuk dicarikan rokok, karena keadaan sangat padat dan tidak ada yang jual rokok pada waktu itu. Karena memang tidak ada yang jual rokok, Entong pun mengambil sebatang demi sebatang dari bungkus rokok teman-temannya, kemudia ia berika ke jamaah tadi. Rasa terima kasih pun lantas selalu terucap hingga kini. "Kadang ki pas acara do ngundangi, tapi aku ra kenal kui sopo." Candanya menggambarkan begitu banyak jamaah yang mengenalnya.

Kebiasaan lain yang pernah dilakukan oleh Entong adalah selalu menyajikan kopi ketika Kiai Kanjeng sedang checksound, terutama para crew-nya, karena sering luput dari perhatian pihak atau panitia penyelenggara. Hingga tak jarang pula para personil Kiai Kanjeng ikut membantu Entong yang tak sedikit pula diberi peringatan dari panitia dalam beberapa kesempatan acara Sinau Bareng.

Sekarang, Entong lebih sering memilih untuk mengalah tidak jualan kopi ketika melihat sudah banyaknya para penjual kopi. Namun, kecintaannya kepada kopi tidak terhenti karena mungkin sudah terlalu menyatu. Dan memilih untuk membuat kopi sendiri meski seadanya dengan merk "Kopi Entong" dengan berbagai variannya. Sembari merawat kambing-kambing Etawanya yang dipelihara dibelakang rumahnya seperti anaknya sendiri.

Maiyah sendiri bagi Entong telah banyak merubah hidupnya, dari dulunya seorang remaja Punk, kini telah menjadi seorang yang istiqomah membersamai segala acara-acara maiyah. Belajar untuk terus berijtihad mencari ilmu dan memberikan manfaat kepada yang lainnya. Banyak keindahan dari pertemuan antara Entong dan kopinya terlebih dalam kesehariannya yang dapat dijadikan pelajaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline