Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Beribu-"Ibu"

Diperbarui: 28 Januari 2020   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.COM

Hikayat ini sedikit terpantik ketika melihat langsung perjuangan Ibu Kati yang menyempatkan diri untuk mengikuti acara Sinau Bareng di Semarang. Perjalanan 6 jam seolah tidak lagi menjadi penghalang ketika niat sudah menjadi tekad untuk sedia diperjalankan. Bahkan, kesediaannya untuk menempuh perjalanannya menggunakan sepeda motor membuat sedikit nafas sedikit tersengal menahan haru.

Saya sendiri belum tentu mau untuk melakukannya, masih banyak tendensi yang menghijabi ketulusan niatku untuk menatap atau setidaknya mendengar suara Mbah Nun secara langsung. 

Cuaca yang sangat tidak bisa diprediksi membuat pertanyaan-pertanyaan muncul sembari menampar-nampar mukaku. "Bagaimana jika hujan deras mengguyur perjalanannya?" atau "bagaimana jika bannya bocor ketika tidak ada tambal ban disekitarnya, lalu meski menahan lapar sembari menapaki jalan mencari tukang tambal ban?"

Sekalipun Ibu ini pergi bersama anaknya, tetap saja hati ini merasa tergugah untuk memberikan sesuatu kepada Sang Ibu. Pertama-tama saya mencoba menghubungi fotografer GS yang kebetulan kami saling berteman di akun salah satu media sosial untuk meminta foto Sang Ibu. Karena dari tempat saya mengikuti sinau bareng, panggung dan daerah di depannya sama sekali tak nampak. Sembari menanti respon dari fotografer tersebut, tetiba rasa rindu itu pun memuncak kepada Almarhumah Ibu.

Jujur saja, salah satu bahan bakar gedabigan mrono-gedabigan mrene mengikuti sinau bareng dalam maiyah, salah satunya adalah mencari pemandangan wajah-wajah para ibu. 

Seolah-olah aku menemukan pantulan-pantulan cahaya dari almarhumah ibu ketika aku mesti menyusuri jalan sepanjang malam sendirian. Ataupun berapa jauh jarak yang mesti saya tempuh, semua terobati ketika aku melihat pemandangan akan kasih dan cinta seorang ibu yang mengajak anak-anaknya untuk ikut acara maiyahan.

Saya bisa merasakan kehadirannnya terus membersamaiku, sekalipun dalam keterbatasan. Hingga tabir akan batas-batas itu sedikit demi sedikit mulai terkelupas. Semakin menyatu. Bunga yang seolah nampak akan segera layu berubah merekah seketika. Memberikan kenikmatan pada semesta yang sanggup menikmatinya dalam ketidakjelasan, kesayupan. Dia selalu menjagaku meski dalam keterasingan, memberikan kehangatan meski sendirian mengarungi dinginnya malam, bahkan memberiku kekuatan sekalipun deraian prasangka masih saja selalu menghujamku.

Seolah Ibu telah mewujud ke dalam beribu-ribu rona keibu-ibuan. Merasuki ribuan spektrum asih yang menyingkap pula beribu hijab. Ibu telah menjadi beribu "ibu", yang selalu menjadi pemandangan yang indah di setiap jalan pencarian.

Beberapa saat kemudian, salah satu kerabat GS menghubungi dan menanyakan apakah jadi ke Semarang setelah sebelumnya seharian kami bersama di Solo. 

Momen ini menjadi kesempatan saya untuk menanyakan apakah mempunyai foto ibu yang saya maksud karena kebetulan kerabat saya ini mempunyai update informasi tentang intern GS. Dan uniknya kami berdua sama-sama tidak mengetahui wajah dari Sang Ibu ini. Celaka!

Beruntung, tadi saya sempat janjian sama kerabat lain, kali ini ia dari Batang. Meski sempat ketemu sebentar, tapi duduk di tempat yang berbeda dan saya pun menanyakan kepadanya dengan memberikan foto yang telah didapat untuk konfirmasi Sang Ibu ini. Kebetulan, anak dari Sang Ibu berada tepat di sebelah kerabat saya dari Batang. Sekalian lah titip menanyakan nama, dan konformasi detil-detil lainnya. Karena, sepemahaman saya, Ibu dari Lamongan ini belum sempat menjelaskan namanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline