Suasana cinta kembali mengemuka kepada Ibu di hari Ibu. Begitupun rindu, yang kembali menggebu bagi mereka yang telah ditinggal sesosok ibu. Aku hanya duduk termangu di sudut bangku yang sudah merapuh, melapuk oleh karena waktu yang selalu saja memberi sendu.
Ibu, kata-kata mereka tentang sesosok ibu tak mampu menghapus rinduku. Kenangan tentangmu tak layak buatku riuh, justru bertambah semakin layu.
Aku bingung, jika mesti bertemu dengan ibu-ibu tangguh yang mengayuh sepedanya disaat fajar belum sempat nampak menerangi jalanan.
Aku linglung, jika mesti melihat anak-anak peradaban, kau gendong di pinggiran jalan,bahkan perempatan lampu merah untuk meminta belas asih, namun justru dianggap meresahkan para pengagung kenyamanan.
Aku pun canggung, ketika ibu dengan keluasannya mampu menampung kerakusan-kerakusan anak-anakmu yang tega dengan saudaranya sendiri.
Aku seperti orang yang tak tahu malu, ketika ibu dengan keringatnya yang mengucur tersengat terik matahari di emperan jalan, masih saja aku tawar harga dagangannya demi hematnya ongkos pengeluaranku.
Aku pun didera pilu, melihatmu kesana-kemari mencari penghidupan bahkan pinjaman demi masa depan anakmu ini, hutang yang semakin menumpuk sedang anakmu hanya mendayu-dayu semakin halu. Dengan harap ilmu yang justru mengubahnya menjadi kaku.
Kini, sesosok ibu mungkin tlah lalu. Namun selaras dengan waktu, ibu telah bertumbuh menjadi seribu, tidak hanya satu. Asihnya bermanifestasi ke tiap sudut mata memandang para perempuan atau wanita. Hingga sesekali ada sesosok ibu yang mengingatkanku agar tidak lupa akan kebahagiaanku, agar kenyamanan diriku yang nomer satu. "Tapi bahagiaku, dengan memberi kebahagiaan kepada yang lain, tak peduli aku." Jawabku.
Ibu, kau tak hanya sekedar rumah, namun telah menjelma ruang kemanapun langkah kaki menapak. Kemana aku pergi, disitu aku merasakan pulang. Memberikan kenyamanan tanpa pernah tahu diri untuk sekedar mengucap kasih. Do'a-do'a mulai mengabar, yang kutitipkan kepada sepoy angan yang berlalu-lalang di sekat akal. Memelukku, erat! "Tuhan, bolehkah sesekali kubalas pelukan itu?"
Bahkan, aku bertemu dengan ibu cendekia nan pintar mengendalikan rasa. Pada suatu waktu aku durhaka kepadanya dengan berkata, "bagaimana mungkin ibu bisa mengendalikan rasa jika kita sama sekali tak punya kuasa untuk menciptakan rasa?" Hingga suatu waktu terbukti, dimana rasa rindu yang tak pernah tau bisa tumbuh segar kepada ibu disangka-sangka seperti menagih hutang janji-janji yang membuat takut, bahkan risih.
Terkadang justru aku berfikir tentang masa lalu, sungguh malang nasib ibuku mempunyai anak sepertiku. Ketika ditawari minuman teh atau kopi, justru aku menawar segelas susu. Sang ibu pun menurutinya sekalipun stok susu dirumah kebetulan sedang habis. Ia segera mencari susu meski gerimis, hanya demi melihat sang buah hati meringis.