Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Belajar "Nirleka" dengan Para Seniman

Diperbarui: 11 Desember 2019   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah Budaya EAN, Yogyakarta | Dok. pribadi

Beruntung saja, bukan beruntung-beruntung yang biasa-biasa. Tatkala senja di kota kenangan ini masih nampak terlihat cerah. Tentu saja kenangan-kenangan tersebut banyak berserakan di jalanan, meminta untuk diingat kembali sembari menyusuri laju menuju Yogyakarta dengan niat mengikuti sebuah workshop kepenulisan esai yang diselenggarakan oleh Majalah Sabana.

Sangatlah menarik ketika melihat para maestro sastra yang akan mengisi workshop, terutama Mbah Mus dan Pak Iman. Tapi, waktu sedikit mengajak saya untuk datang terlambat karena rutinitas pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Alhasil, saya hanya bisa mengikuti sesi kedua setelah coffee break. Meskipun kepastian terlambat itu sendiri sudah diketahui pada saat mendaftarkan diri menjadi peserta.

Saya hanya mengingat tentang kata "apresiasi" yang pernah di-dhawuhi oleh Simbah pada saat launching Majalah ini. Dan saya meyakini dari setiap pertemuan pasti banyak kandungan ilmu yang dapat kita ambil. Tentu dengan catatan, bahwa kedatangan diri dibarengi dengan kerendahan hati. Jadi sudah dipertemukan, menurut saya sudah menjdai rahmat kebahagiaan tersendiri.

Dalam sesi kedua, terdapat 6 catatan pamungkas dari Pak Iman yang mesti diingat dalam menulis esai :

  1. Otentisitas : Banyak metode atau cara dalam kepenulisan, dan belum tentu semua metode kepenulisan cocok dengan pribadi seseorang. Setiap orang yang hendak menulis baiknya tidak mbuntut, tetapi mencari dan menemukan sendiri jalur yang paling tepat sesuai dengan karakternya.
  2. Menemukan visi : Menulis bukanlah tuntutan studi formal, melainkan sebuah dorongan pribadi. Menulis bukanlah menjadi tujuan untuk mencari nafkah, melainkan sebagai pemenuhan terhadap berbagai tuntutan psikologis dalam mengekspresikan pemikiran serta energi kreatifnya.
  3. Setia kepada proses : Kualitas karya seseorang mengalami peningkatan bertahap sesuai perkembangan visi, ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan kepribadiannya. Ibarat mendaki gunung, mereka akan setapak demi setapak menempuh perjalanan dari waktu ke waktu.
  4. Menulis merupakan tarekat : Mencipta esai tak ubahnya memberi sedekah. Logikanya, ketika seseorang makin kaya, sedekahnya juga akan lebih banyak.
  5. Jangan berharap eksistensi : Tujuan utama belajar mencipta/mengarang esai bukan semata-mata untuk menjadi penulis esai yang handal. Belajar mencipta karya tulis esai sama halnya belajar menjadi cerdas, arif, dan peka. Karena tanpa hal tersebut, hasilnya akan senantiasa dangkal.
  6. LOSSSSS : Belajar menulis esai bisa menggunakan metode N-3 yang diprakarasai oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu niteni, nirokake, nambahi. Ketika sudah pada tahap atau fase nambahi, cobalah menulis dengan gaya sendiri.

Acara pun harus segera lekas dipungkasi karena tempat diselenggarakan workshop ini akan dipakai untuk agenda selanjutnya. Beberapa seniman telah nampak hadir ke Kadipiro malam hari itu. Pak Iman pun lekas menutup workshop ini dengan memberikan tugas kepenulisan esai, bebas, dan didiskusikan pada pertemuan berikutnya pada bulan Februari.

Closing Pameran Surealis Pak Novi Budianto

Setelah acara workshop selesai, ternyata hari ini juga bertepatan dengan closing pameran lukisan Pak Novi Budianto. Beruntungnya, penutupan itu dihadiri oleh kerabat-kerabat Pak Novi khususnya Mbah Nun. Seluruh peserta workshop dipersilahkan pula untuk mengikuti acara penutupan tersebut. Yang pertama membuka adalah Pak Uus, salah seorang karib Pak Novi sejak kecil. Atas jasa beliau pulalah pameran lukisan ini akhirnya dapat dipublikasikan. Bahkan, Pak Uus merencanakan pameran lukisan Pak Novi ini untuk dipentaskan di Ibukota.

Pak Iman yang tadi menjadi narasumber workshop pun meminta ijin kepada Pak Novi untuk mengambil salah satu gambar lukisannya untuk dijadikan cover di Majalah Sabana edisi berikutnya. Memang lukisan-lukisan Pak Novi merupakan sebuah filosofis yang tersusun atas garis-garis lurus, lengkung, maupun patah-patah yang bersinergi membentuk sebuah rona makna. "Lukisan surealis tersebut memancing saya untuk lebih banyak membaca buku-buku." Kesan Pak Iman.

Berikutnya giliran Mbah Mustofa W. Hasyim untuk memberikan kesannya. Menurut beliau, ketika pertama kali datang ke pameran ini, beliau langsung bergegas untuk menikmati. "Seolah mendengarkan gemuruh spesial yang panjang. Keponthal-ponthal...!" respon puitis beliau terhadap lukisan Pak Novi yang sangat panjang. Beliau juga menambahkan bahwa lukisan-lukisan Pak Novi ini mampu merekam sekaligus melawan budaya industri Indonesia. "Hari ini kita hidup di suasana zaman yang Novi betul." Pungkas Mbah Mus.

Ketika giliran Pak Jemek Supriyadi untuk memberikan pesan atau kesannya, beliau mengucapkannya dengan lekukan gerakan-gerakan yang sarat akan makna, tanpa kata. Ya, Pak Jemek memang terkenal sebagai seniman pantonim. Dengan usianya yang tak lagi muda dengan gaya rambut gimbal yang sengaja hanya disisakan di bagian belakang kepala botaknya ini memang masih nampak energik dan aktif pentas hingga sekarang.

Pak Novi sendiri banyak-banyak mengucapkan rasa syukur dan terimakasihnya. "Saya bukan seorang konseptor illustrasi, hanya mengisi waktu di sela-sela jam mengajar. Kata Pak Novi. Beliau juga mengungkapkan bahwa proses pembuatan ini dilakukan secara improvisatoris. Bahwa lukisan ini adalah "nirleka", atau sebuah rupa yang diwujudkan tanpa tulisan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline