Angin mendadak nampak begitu usil, terutama bagi kawasan yang mendekati langit. Ada 2 makna berlawanan yang mungkin bisa saya maknai, antara menimbulkan kekhawatiran atau terus menikmati kebahagiaan. Karena kebetulan, kemarin saya diberi kesempatan langsung ketika tidak sengaja ingin melihat semburat cahaya dari timur. Tanpa perlu pikir panjang, keresahan yang menimbulkan kekhawatiran saya buang dan memilih untuk menikmati hembusan yang (over) mesra dari Sang Angin.
Atau mungkin, hal tersebut merupakan salah satu bentuk pesta pora Sang Alam menyambut hari-hari yang penuh kemasyhuran. Bagaimana tidak? Pelantikan pemimpin baru disusul dengan penunjukkan para menteri-menterinya yang mengejutkan bagi para pengikut garis keras. Sampai buzzer-buzzer pun bingung mau bikin isu kontroversial apa, hingga fenomena mengupas buah salak oleh istri salah seorang konglomerat pun diviralkan.
Yang negeri butuhkan bukan menteri, tapi mantri yang menyembuhkan. Yang benar-benar mengetahui kalau dirinya ditunjuk untuk mengobati atau memperbaiki ketidakselarasan ataupun ketidaksinergian lembaga-lembaga yang berada di bawah naungannya. Bukan hanya formalitas simbol kepala suatu departemen yang ditunjuk, entah atas dasar kesepakatan politik seperti apa.
Begitu juga kesakralan momentum hari santri yang berdekatan dengan prosesi agenda regulasi politik tersebut. Namun, ternyata negeri ini tidak membutuhkan label santri kepada warganya agar sembuh dari luka-luka kedholiman dan keserakahan.
Baik santri pesantren atau tanpa pesantren, abangan atau mondok, dan kriteria-kriteria pembeda lainnya. Mereka ikut serta mendengungkan kemeriahan peringatan identitas mereka sebagai seorang santri, yang notabene adalah seseorang yang pada umumnya sudah, sedang, atau selalu mempelajari agama.
Baik menteri atau santri, mereka tidak ada bedanya. Terkecuali ujub yang berkelakar atas pencapaian perjalanannya masing-masing. Yang siap memangsa dirinya kapan saja andaikata tidak berhati-hati, terutama akan ilmu yang telah dititipkannya sesuai dengan label identitas yang dibanggakan.
Tak peduli menteri atau santri, mereka tetap sama di mata pandang seorang gelandangan seperti saya. Hanya manusia, tak lebih. Yang justru terlihat lalai ketika mereka sedang menikmati hagemoni keriuhan kelompok masing-masing.
Jika momentum ini diibaratkan seperti suasana lebaran tentu tidak mengapa, hanya saja masihkah mereka mau berpuasa kembali untuk berupaya dan terus berjuang memperbaiki sesuatu yang menjadi masalah,setidaknya bagi dirinya sendiri.Karena masih begitu banyak penampakan awam perihal proses mengenal diri.
Karena, sebelum berurusan dan memegang amanat yang diberikan khalayak ramai, setidaknya urusannya dengan diri sendiri sudah selesai. Bagaimana orang yang belum bisa mengobati dirinya mampu memberikan obat terhadap luka masyarakat umum?
Baik yang merasa menteri, yang merasa santri sebaiknya memiliki mental sebagai seorang mantri yang memiliki keahlian khusus untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tertentu, terutama disaat dirinya dibutuhkan.
Apakah keahlian itu berasal dari ijazah formalitas suatu lembaga pendidikan bagi seorang menteri? Ataukah keahlian datang atas dasar pemberian ijazah dari seorang Kyai bagi seorang santri? Tentu hanya masing-masing dari pemilik identitas tersebut yang paling mengetahui otentisitas dan keahlian dirinya sendiri.