Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Rakaat Panjang Generasi Pejuang!

Diperbarui: 25 September 2019   16:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. Tempo

Mungkin, ini merupakan salah satu daya dan upaya para masyarakat yang masih peduli dengan keadaan negeri ini. Terima kasih kepada segala elemen masyarakat yang telah menyedekahkan waktu dan tenaganya untuk turun ke jalan demi perubahan apapun menuju keadaan yang lebih baik.

Sebenarnya, masalah ini agak klise dan menggemaskan. Bagaimana tidak? Mereka hanya mempermasalahkan produk kerja anggota dewan perwakilan rakyat (yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat), dimana rakyat sendiri merasa tidak terwakili aspirasinya dalam hasil kerja tersebut (khususnya RUU KPK dan RKUHP). 

Seharusnya jelas batal, tidak perlu sekelas Presiden menunda-nunda keputusan kalau hanya akan memperpanjang drama. Terlebih, mayoritas ini adalah gerakan aksi mahasiswa yang tidak hanya melibatkan segelintir universitas di satu kota. Namun, gejolak telah merambah di berbagai daerah lain.

Saya sendiri yang melibatkan diri menjadi saksi, melihat betapa tulusnya perjuangan para adik-adik mahasiswa ini. Meskipun prasangka-prasangka ditunggangi kepentingan sana-sini, mereka seolah tetap tak mempermasalahkannya. 

Hal lain yang perlu menjadi pokok pertimbangan dalam perjuangan masif ini adalah mereka mayoritas masih tidak memiliki kepentingan politik sama sekali. Mereka mayoritas masih fitrah dari nafsu-nafsu kekuasaan. Mereka tergerak karena -para wakil rakyat- melakukan kesewenangan sepihak yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat dan terkesan melindungi kepentingan-kepentingan para elit politik.

Dalam situasi seperti ini, negeri ini memerlukan kebijaksanaan kepala rumah tangga untuk meluruskan persengketaan ini. Kita memerlukan sosok untuk menengarai, menjembatani, mewadahi. 

Tidak hanya sebatas simbol atas tonggak kepemimpinan, akan tetapi berani untuk keluar dari agenda jadwal disaat kondisi rumah tangganya sedang krisis. Apalagi bersedia menyapa langsung para agen perubahan. Pertanyaannya, siapakah kepala rumah tangga tersebut?

Kita butuh suasana keterbukaan, bukan saling mensiasati. Kita ikhlas berpanas-panasan agar suara kami terdengar. Tuntutan kami tidak banyak, tidak membutuhkan anggaran sebanyak satu kali rapat para wakil kami merumuskan kebijaksanaan yang (maaf) ambigu. Apa suara kami masih terdengar sumbang hinga perlu kami lantangkan terus dan terus?

Sepertinya akan lebih baik jika kursi-kursi perwakilan DPR itu diisi oleh para pemuda-pemuda yang peduli terhadap bangsanya. Yang rela meninggalkan kelas-kelas mata kuliahnya -meskipun rektor mereka tetap menginstruksikan para dosennya untuk tidak meliburkan kelas- demi nasib bangsanya yang hukumnya dipermainkan oleh segelintir pihak yang tak bertanggung jawab.

Bayangkan, para pemuda ini tidak perlu gaji ataupun fasilitas-fasilitas mewah. Untuk sekali rapat hanya butuh akomodasi serta konsumsi. Suasana rapat pasti sangat produktif dengan segala argumentasi dan cakrawala pandangan para pemuda bangsa. Dan yang pasti, tidak ada kepentingan politik sama sekali dan tulus menyalurkan aspirasi rakyat. Tidak ada oposisi ataupun koalisi, bahkan walked out. Ataupun tidur saat ada sidang.

Sangat bisa segala keruwetan politik itu diudar demi kemudahan dan keterbukaan. Segala ke-njlimet-an ini telah terbentuk berlapis-lapis, disaat tiap lapisan itu selalu kelaparan dan menuntut bagiannya. Haruskah kita mengkaji bersama, duduk melingkar atau ngopi bareng para pejabat? Memaksimalkan bagian-bagian yang lebih bisa dipadatkan. Dan jika itu berdampak pada kuantitas ASN, selesaikan solusinya bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline