Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Perjalanan Menuju "Kekerdilan"

Diperbarui: 14 Agustus 2019   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Twitter @caknundotcom

Tidak seperti biasa, malam Mocopat Syafaat kali ini pukul 20.00 masih terlihat lengang. Halaman TKIT Alhamdulillah yang biasanya sudah  terlihat tidak muat, ini masih terlihat lengang. Tak mengapa, langit sangat nampak bersahabat dan sedang tidak ingin bercanda untuk diajak bermain air. Jadi, datang jam berapapun, kekhawatiran akan guyuran air seolah sirna. Atau mungkin saja, langit sedang melas melihat banyak yang mbeler karena kemesraan cuaca belakangan ini.

Interaksi antara para pedagang alas tempat duduk dengan jamaah yang datang pun menjadi pemandangan menarik bagi saya pribadi. Karena panggung masih kosong, saya pikir ini menjadi kesempaan untuk menyapa salah satu pedagang alas tempat duduk. 

Seorang bapak-bapak yang standby di depan gerbang, dengan dagangannya yang sedikit bervariasi karena ternyata menjual kipas juga yang terdisplay di gerbang masuk. Bapak yang berdomisili dari Garut ini hampir selalu mengikuti kemana Simbah dan Kiai Kanjeng diundang. 

Ternyata Bapak ini suka diajak mengobrol, beliau banyak bercerita tentang enaknya zaman Soeharto sampai kondisi transportasi kereta api pada waktu itu yang akses menaikinya masih sangat mudah. Setelah mengakhiri obrolan kami, Bapak itu lalu menata alas yang ia jual itu di sekitaran pagar. Dan saya tidak ingin mengetahui apakah nanti alas itu diminta pembayarannya atau tidak oleh si Bapak.

Acara pun dibuka dengan mengirim doa kepada Simbah dan ahlul bayt-nya lalu dengan membaca bersama-sama surat Al-A'raaf ayat 82-149. Di Mocopat Syafaat ini, pembacaan ayat Al-Qur'an sudah menjadi makanan pembuka dan para jamaah tidak ada kewajiban untuk ikut membaca, sekedar menyimak monggo, membaca sambil merokok tidak ada yang protes juga, tidak memperhatikan sama sekali juga bukan masalah. 

Bebas lah pokoknya. Hanya saja bagi yang memperhatikan, fenomena tersebut memberi gambaran tentang untuk apa mereka datang kesini. Layaknya sebuah pengakuan yang ingin mereka ungkapkan seperti yang terucap di bacaan surat terakhir waktu itu," Sungguh, jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang rugi."

Rahmat itu seakan tercurah kepada kami, mendorong kami untuk datang mencari makanan bagi jiwa kami yang kelaparan. Lapar akan cahaya dimana kami terlalu banyak berjalan seolah selalu berada di bayang-bayang. 

Kami lapar akan pengakuan, disaat kami selalu mengalah dalam lomba lari eksistensi. Jiwa kami butuh ruang, disaat dunia selalu membuang kami ke pinggiran. Malam ini rela kami arungi walau raga harus bekerja ekstra. Tapi itu semua selalu Simbah ganti dengan makanan kegembiraan dan 'kelahiran' yang baru.

Malam ini Simbah naik panggung sedikit lebih awal. Pukul 21.30 Simbah dan para tamu sudah berada di panggung untuk memulai perjalanan menuju 'kekerdilan'. Jadi, yang merasa 'besar' diharapkan untuk segera turun lalu 'close tab ini'. 

Sayang di laptop dan words ini tidak bisa menampilkan emoticon, yang setidaknya dapat menunjukkan sedang serius atau guyonan. Walau kadang dengan dijejali emoticon pun masih banyak yang salah sangka. Karena celakanya masyarakat sekarang terlalu banyak ilmu untuk mudah melontarkan prasangka.

Simbah meminta jamaah untuk selalu memiliki kesiapan berfikir dalam mengikuti proses bermaiyah. Melatih supaya maiyah nanti memiliki efek ke dalam diri sendiri. Dengan harapan memahami ke siapa buah itu akan diberikan, ke dalam lapisan masyarakat mana benih itu cocok untuk ditandur. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline