Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Esai | Awan "Mendung"

Diperbarui: 8 Agustus 2019   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. beritauntukkitawordpress

Awan mendung di musim kemarau tidak begitu saja menjadikan mereka mendadak subur. Kesakitan akan tetap membutuhkan proses untuk menjadi kembali sehat. Begitu pun ketidaksahajaan yang melanda negara ini, awan mendung kesementaraan ini mustahil mengubah begitu saja ketidaksahajaan tersebut menjadi kecerdasan seluruh bangsa.

Awan mendung di tengah siang yang terik, seakan datang membawa kabar kalau air akan segera turun. Memberikan kesegaran mengusap keringat yang mengucur. Menuntaskan kedahagaan akan kekeringan yang melanda. Mereka terlalu yakin kalau keadaan akan segera membaik. Keteduhan akan menyelimuti mereka beberapa saat lagi.

Tapi di luar kendali mereka, awan mendung itu mendadak berubah menjadi sebuah malapetaka. Air berjatuhan begitu derasnya, membanjiri segala kemunafikan atas nama keselamatan. Menghanyutkan segala harta benda bahkan nyawa-nyawa orang terkasih. Semua yang disangka akan menjadi berkah berubah seketika menjadi musibah. Keteduhan tidak selamanya akan selalu sejuk. Kita hanya harus selalu waspada, pun dengan segala nikmat yang kita terima.

Seperti negara yang sebelumnya tercerahkan, mendadak awan mendung itu datang seakan membawa kesejukan. Mengatasnamakan panji-panji kebenaran, membentangkan literasi-literasi huruf arab dengan keyakinan Tuhan dan kekasihnya bersama mereka. Saya termasuk manusia yang menyambut mendung itu seperti adanya, walaupun hati selalu resah. Resah akan kedamaian yang akan porak poranda oleh mendung itu.

Mereka memberi kesejukan dengan selalu melafazkan ayat-ayat kebenaran mereka sebagai landasan  berperilaku mereka. Tapi mereka lupa inti dari ajaran mereka sendiri, Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Mendung datang dengan keyakinan akan memberikan kesuburan di negeri itu. Mendung lupa kalau negara itu sudah subur dengan cahaya yang selalu menyinari mereka.

Walaupun rakyat di negeri itu belum fasih dengan hafalan ataupun literasi-literasi arab. Akan tetapi hati mereka sudah mengejawantahkan Kalamullah. Bahkan masyarakat muslimnya lebih banyak di negeri itu daripada di negara asalnya. Tapi mengapa mendung itu malah datang kesini? Seakan mereka tidak percaya dengan saudara mereka di negeri gemah limpah loh jinawi itu.

Seakan mereka anggap negeri ini terlalu terik, padahal cahaya Allah selalu memberi kehangatan kepada negeri itu. Mendung memberi tetes-tetes air syariat kepada tanah dimana tanah di bawah negeri itu sudah mengandung banyak air. Mereka menawarkan keteduhan dimana negeri itu sudah cukup hangat dengan selalu membalas dekapan cahaya ilahi.

Mereka sangka negeri ini telah larut dalam kekafiran sehingga mereka diazab dengan kemiskinan. Padahal negara ini sedang berpuasa dengan menikmati segala keserakahan para pemimpinnya. Tak terhitung berapa banyak tuduhan kafir yang mendung itu lontarkan kepada para penduduk negerinya.

Mendung telah menyangka negeri ini salah kaprah tentang syariat, padahal kebanyakan dari negeri itu telah beranjak ke thariqah bahkan hakikat. Mendung terlalu memandang keyakinan dengan kacamata materialistik. Literasi-literasi ayatmu hanya berisi tentang keegoisan bagaimana untuk mendapatkan nikmat dan kemenangan. Bahkan surga pun sudak habis buat mereka.

Mulut si Mendung selalu berusaha memadamkan kehangatan dan keharmonisan masyarakat negeri itu. "Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan Agamanya meski orang kafir membencinya." (61:8) Tapi mereka selalu membenci kami seakan kami telah ingkar dengan Tuhan.

Wahai mendung, terima kasih. Berkatmu aku akan segera subur. Bukankah besok Jum'at itu harinya?

28 Agustus 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline