Sebuah rasa kehilangan merupakan salah satu yang pasti dalam rasa memiliki. Apapun. Dari keluarga sampai mainan atau benda yang kita sukai. Pada akhirnya akan hilang.
Terkadang, kita terlalu angkuh terhadap kehilangan. Hingga akhirnya pergi mengacuhkan kehilangan itu dan selalu berteman dengan rasa memiliki. Terkadang manusia lupa, siapa yang telah menawarkan ketegaran kalau bukan kehilangan? Siapa yang telah memperluas cakrawala hati, kalau bukan kehilangan?
Begitupun dengan kesepian. Bagaimana bisa mereka mengacuhkan rasa sepi. Kamu selalu menghindarinya karena rasa takutmu yang berlebihan. Atau karena dirimu yang terlalu manja dengan kemegahan-kemegahan bangunan yang hanya tampak di pelupuk matamu.
Berkat kesepian kita bisa belajar tentang kedamaian. Berkat rasa kesepian kita bisa bermesraan dan lebih berdaulat terhadap diri sendiri. Terlebih berkat kesepianlah kita bisa melihat secara nyata arena pertarungan jihad tersebar melawan diri sendiri.
Tapi, mereka berlari menuju kerumunan. Mereka haus akan pujian oleh para sahaya daripada pujian Sang Puan. Mereka bertikai memperebutkan ketidakkekalan. Antara telah tertipu oleh tipu daya iblis atau karena telah ditutup mata hatinya.
Tapi, sekali-kali jangan salahkan iblis atas kelalaianmu. Ia beribu tahun lebih lama menyembah Tuanmu daripada semua manusia yang hidup di bumi. Bahkan Iblis menyesatkan manusia atas dasar kesetiannya dengan Tuan. Dia rela menjadi bahan bakar api neraka. Karena api cemburu itu berubah menjadi padang rumput yang luas oleh karena cinta kesetiannya kepada Tuan.
Bahkan, api neraka itu kamu sendiri yang menyulutnya dengan api amarahmu, api keangkuhanmu, api kebencianmu, bahkan kobaran api kebenaranmu.
Pernahkah mendengar kisah Musa dan tukang semir sepatu? Bagaimana Musa ditegur oleh Tuhan akibat menyalahkan cara berdoa sang tukang semir sepatu tersebut?
Atau para ulama-ulama itu kini mulai berlagak seperti Musa atas rakyat sedemikian yang berprofesi sebagai tukang sepatu. Dan memiliki khayalan tentang pengabdian dan cinta kepada Tuhan tentu bermacam-macam pula. Akankah Tuhan tidak sengaja membuat variasi perbedaan itu? adakah kebenaran itu hanya menurutmu saja?
"Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras." (2:204)
Manusia hanya tidak pernah mengetahui perasaan Ibnu Muljam. Hanya mengetahui apa yang dilakukannya. Apakah itu nampak sebagai suatu kesalahan? Tergantung siapa pengarangnya. Tergantung siapa yang bercerita.