Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Apa Ada "Masalah"?

Diperbarui: 1 Agustus 2019   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Jujur saja, tidak bisa seutuhnya sebuah pemikiran itu akan selalu subur. Bahkan sesekali, pikiran itu mesti merasakan layu agar lebih matang dan objektif dalam melakukan sesuatu. Tidak selamanya aku, kamu, bahkan kita benar. Benar itu sendiri merupakan alat ketika kita memasuki ruang kesejatian. Al-Haqqu minallah.

Tapi lihat bagaimana pegangan akan kebenaran itu mereka jadikan sebuah alat untuk membangun kesementaraan. Bahkan, mereka ikut sertakan emosi untuk melakukan invasi kebenaran terhadap sebuah ideologi pemikiran. Dan hal-hal seperti itu sangat gamblang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. 

Mereka yang merasa punya 'kuasa' untuk mampu melakukannya. Merasa lebih tinggi daripada yang lain. Hingga di satu titik membutuhkan gelora sebuah emosi, karena merasa telah melakukan kebenaran meskipun tanpa disadari mungkin saja untuk untuk menutupi kesalahan-kesalahannya. Disaat emosi itu sendiri telah membutakan hatinya.

Apakah hal tersebut merupakan sebuah masalah? Atau apa ada 'masalah'? Sebenarnya, apa yang menyebabkan sebuah masalah?

Masalah selalu timbul pasti didasari atas ketidakcocokan sebuah pandangan antara yang satu dengan yang lain tentang apa yang dianggpnya tepat. Tapi, apakah 'tepat' itu sendiri merupakan sebuah kebenaran meskipun telah disepakati oleh orang banyak? Kalau dalam terminologi jawa, sesuatu dikatakan tepat jika sesuai empan papan atau waktu dan tempat. Jikalau waktu dan tempat merupakan faktor yang penting dalam menentukan suatu kebenaran, lalu apakah waktu dan tempat selalu sama?

Apakah waktu dan tempat? Benda mati-kah, atau masuk dalam golongan 'segala sesuatu itu mempunyai ruh'-kah? Dimana ruang dan waktu sangat-sangat tidak berbatas. Tapi kenapa kita mesti merasa benar dan merasa berhak melimpahkan emosi/marah kepada suatu kondisi yang membagunkan amarah tersebut, kenapa?

Jika membicarakan tentang ilmu modern, segala pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mencari sumber buku rujukan menurut ini, menurut itu, atau menurut siapapun itu. Adakah penulis-penulis itu meniadakan hak atas ide-idenya sendiri?

"Kalian kan hanya mengerti sejarah dari buku-buku. Hanya sebatas jarene iki, jarene iku (katanya ini, katanya itu). lhah, saya itu tidak hanya mengerti. Namun, saya memahami karena saya mengalaminya sendiri." Kata seorang Kakek sepuh yang menjadi kerabat dekat dari Almarhum tempat saya singgah.

Literasi sangat mungkin untuk direkayasa. Sedemikian rupa, sehingga membentuk kultur dimana kita semakin kehilangan kendali atas diri kita sendiri. Untuk bersikap legowo, empati, ikhtiar, ikhlas dan segala sesuatu yang lebih suka semeleh daripada dumeh.

Memangnya dengan menuntut ilmu setinggi-tingginya akan membuatmu semakin merindukan Tuhanmu? Atau justru semakin menjauhkanmu? Coba perhatikan dengan seksama. Semakin banyak literasi yang kamu lahap semakin menambah nafsu makan akan ilmu itu, atau kamu akan menanti waktu yang tepat dipertemukan dengan ilmu? Semakin menambah rasa cintamu, atau sebaliknya? Bukankah kita mesti mengetahui terlebih dahulu daulah akan sebuah hakikat atas ilmu itu? Kalau bingung, bukankah kita sudah diberi sebuah alternatif 'mintalah fatwa pada hatimu'?

"Tuhan tidak begitu sakit hati terhadap orang-orang kafir. Namun, Tuhan sakit hati atas orang-orang yang berpura-pura menyembahnya."kata seorang Begawan. Yang sembahyang tapi hanya sebatas formalitas. Yang berpuasa tapi tidak kuat dengan rasa menahan itu sendiri. Yang mendatangi Masjidin Haram, tetapi tujuan paling utama adalah jangan lupa untuk berswadaya foto. Mana yang lebih penting, prasangka mereka atau prasangka Tuhanmu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline