Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Mendalami Fadhillah dan Mengenali Diri

Diperbarui: 30 Juli 2019   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. @afitchoirudin

Bulan nampak sedikit sejajar dengan bumi ketika senja. Seakan menggantikan matahari yang mulai tenggelam di ufuk yang saling bersebrangan. Mengapa mulai banyak yang sinis akan sebuah kata 'senja'? Seolah-olah mereka memahami frasa ayat 'aku tidak suka pada bintang yang terbenam'.Sepertinya saat ini, Padhangmbulan itu hanya ingin memesrai adiknya, Mocopat Syafaat.

Dengan tema -Mendalami Fadhillah dan Otentisitas Diri, Menuju Cerdas Dunia Cerdas Akhirat- yang baru kali ini terpasang banner baru yang dipajang didepan backdrop Mocopat Syafaat, yang biasanya justru menjadi salah satu ciri otentik pada layar kaca kamera. Dan mungkin, langkah menutupi itu pun bisa jadi sesuatu ide yang revolusioner atau malah justru memupuk hijab. Untuk berani merubah diri atau semakin kehilangan diri. Meski banner itu hanya sebuah bentuk atau wujud yang dapat dipandang oleh mata raga, isyarat ini kita maknai dengan sesuatu yang positif dan tentunya tidak mengubah substansi dari tema sinau bareng kali ini.

 Sebelum mendalami fadhillah, untuk mengenali diri pun terasa sangat sulit. Tagline 'Love Yourself' ramai di gandrungi kalangan para pemuda. Tapi pertanyaannya, apakah kita bisa mencintai tanpa mengenali? Bisakah kita benar-benar mencintai diri kita disaat kita masih berusaha terus mengenali diri? Kita mencintai demi kenyamanan diri, dan disaat yang sama cinta itu sendiri tak pernah ingkar membingkai lara.

Saya sedikit mereview beberapa kesempatan sinau bareng dengan Mas Sabrang yang berhubungan dengan fadhillah. Yang pertama tentang mengenali diri, salah satu hambatannya adalah hawa nafsu. Apakah kita mampu selesai dengan hawa nafsu kita sendiri? Bahkan sampai mati pun itu menjadi salah satu jihad yang terbesar karena selama hidup, peperangan itu akan selalu datang. 

Kita tidak mungkin menang melawannya, jadi salah satu jalan keluar adalah dengan memeluk nafsu kita sendiri. Setidaknya dari situ, kita bisa mulai belajar niteni tentang apa yang berada dalam an-nafs. Kita sangat mudah mengalami peristiwa cinta, tapi diri mana yang sebenarnya kita cintai?

Pada kesempatan lain, untuk dapat memahami apa yang menjadi fadhillah itu sendiri dimulai dengan keberanian untuk memegang suatu tanggung jawab. Di dalam dunia pendidikan kita mesti dilatih untuk mencari bakat yang tepat. Dalam suatu perlombaan pun selalu memfokuskan kepada apa yang menjadi bakat. 

Mas Sabrang sendiri menyatakan bahwa yang utama dilihat jangan bakatnya, melainkan seberapa manfaat fadhillah tersebut terhadap lingkungan sekitarnya. Jangan terlalu mudah terjebak untuk fokus hanya kepada isim. Kemudian Mas Sabrang menjelaskan urutan untuk mengenali fadhillah diri. Yang pertama, cobalah untuk 'memegang' suatu tanggung jawab; kedua, 'bisa' gak melakukan tanggung jawab tersebut?; ketiga, lantas 'mau' tidak melakukannya?

Dari situ pun kita mesti mengarungi jalan yang panjang. Mungkin malam ini dirasa tidak cukup, tapi semoga Allah menuntun kita ke dalam lintasan-lintasan cara berfikir sesuai dengan server dalam memahaminya. Sembari menanti jawabannya, tadarrus dan sholawatan menjadi pembuka pintu ilmu seperti biasa yang membuka cakrawala dan mensinergikan dengan hati agar sefrekuensi. Tema yang dipaparkan dan dipajang kali ini menjadi batas untuk bisa kembali mengingatkan inti pembahasan oleh para penggiat Nahdlatul Muhammadiyin.. Bagi yang baru mendengarnya, kata ini memiliki makna membangkitkan jiwa Muhammad.

Mas Effendi yang menjadi salah satu wakil penggiat NM menyatakan bahwa kata kunci untuk memahami adalah diri kita sendiri. Apakah diri itu begitu otentik dan memiliki fadhillah? Tidak lepas dari dua hal, yang pertama adalah identitas, contoh mudahnya nama. Hal ini menurut Mas Effendi sangat penting agar kita mengingat diri. 

Di mana diri itu dilingkupi oleh tubuh. Apakah diri yang dimaksud berbeda dengan diri yang kita cari? Dengan berbagai identitas yang begitu banyak melekat, lantas bagaimana dapat menemukan diri? Diri yang otentik itu diri yang bagaimana? Paling tidak ada satu hal kenapa Mbah Nun mengangkat tema ini, bahwa Mbah Nun ingin para jamaah sejak remaja sudah menemukan dirinya untuk mengatasi banyaknya kompetisi atau tantangan kedepan. Agar mulai berlatih menjadi ahli pada bidang tertentu. Terutama pada yang muda-muda untuk siap menyongsong waktu yang selalu menepati janji akan kejutan-kejutan.

Begitu naik ke panggung, Mbah Nun langsung berpesan,"ojo gumunan karo opo-opo, Mas. Sekarang semua terbatasi oleh profesi ke dalam fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan. Artinya kita sudah meninggalkan apa yang sudah menjadi hakiki." Dan pengelompokan itu secara tidak sadar melekatkan sebuah identitas pada mereka hingga tak jarang terjerembab dalam sikap dumeh. Dan segala sesuatu tentang dumeh itu yang mengakibatkan sedikit-demi sedikit kita meninggalkan apa yang telah menjadi tradisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline