"Lantas apa yang membuatmu bahagia?"
Banyak sekali ambisi yang tersimpan rapi dalam angan untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Banyak sekali deskripsi tentang makna bahagia. Dari yang gombal (bahagia jika aku berada disisimu, kasih!) sampai ke yang malu-malu kucing (bahagia itu sederhana, asal cukup). Padahal cukup baginya juga sangat absurd. Cukup asal ada tempat tinggal dan kendaraan pribadi, sedangkan di sisi lain cukup bagi mereka asalkan bisa memakan nasi sehari satu kali.
Tapi memang begitu, hari ini kita terlalu takut akan simbol-simbol atau lambang yang nampak nyata. Tuhan pun sembunyi-sembunyi berani mereka delegasikan demi memenuhi hasrat kebahagiaan tersebut. Dan itu tak masalah bagi Tuhan. Bagi Maha Penyayang, hal tersebut tak seberapa karena memang Ia ingin kita selalu bahagia.
Namun, kebutuhan yang tak pernah terpuaskan akhirnya membuat makna akan bahagia itu semakin meruncing. Terpaku pada sesuatu yang nyata layaknya simbol-simbol yang mesti diperjuangkan. Karena kalau tidak sampai terpenuhi, kebahagiaan itu mungkin tak akan tercapai. Disaat yang sama, kapasitas dan itensitas ibadah menjadi bertambah juga. Lagi-lagi Tuhan memenuhi kebahagiaan para hamba yang sering memanggil-manggilNya. Meskipun waktu dan rentang jarak tiap individu memiliki dalam pemenuhan kebahagiaan itu memiliki variasi perjalanan yang sangat kompleks.
Semua dibuat "...indah dalam pandangan manusia...", sekalipun itu istri dan anak-anakmu kelak. Bagaimana kamu dapat mengelak akan kebahagiaan setelah mendapatkan 'segala rupa' yang oleh Tuhan sengaja dibuat indah? Akan tetapi, justru mereka pada akhirnya mabok oleh anggur kebahagiaan itu. Mereka pikir usaha merekalah yang merekayasa hasil tersebut dengan sedikit campur tangan Tuhan. Terkadang saya sendiri pun takut akan kata-kata yang terangkai ini, bisa jadi semua termasuk dalam nafsaka minaddunya?
Tidak ada yang salah terhadap rasa yang Tuhan pantulkan kedalam jiwa yang akhirnya menjadi rasa yang tercurah kedalam hati setiap insan. Hanya saja penglihatan kita telah terhijab oleh samar-samar ego yang menuntut kebahagiaan atas diri sendiri. Akhirnya laku kita menjadi bias dan inilah perjalanan. Dahaga akan kebenaran selalu kita cari untuk menggapai kebahagiaan. Celakanya, dahaga itu hanya untuk mengisi perut yang mulai kering, bukan hati yang mulai tandus oleh semua keindahan yang hanya tertangkap oleh mata raga.
Pertama-tama pahami terlebih dulu makna dan konsep bahagia menurut pribadinya masing-masing. Semua pasti sudah bisa mengenali mana yang sementara dan mana yang kekal. Hanya saja terkadang berbelok arah ditengah jalan karena gengsi. Takut dipandang rendah oleh manusia lain. Takut disepelekan oleh kekuasaan orang lain. Takut tidak mendapat pengakuan.
Iya, semuanya wajar. Terutama buat keseimbangan dan proses pembelajaran dan pendewasaan cara berfikir. Bagi yang memperhatikan atau niteni. Bagi yang tidak sepaham dengan arus yang semakin hari semakin menjauhkan diri kita dari diri sendiri. Manusia mulai kehilangan manusianya. Lihat saja, bagaimana industri pelampiasan diri untuk menghapus kepenatan sangat konsumtif. Yang hanya bisa diciptakan oleh produsen dengan daya imajinatif yang bersinergi dengan kreatifitas yang tinggi.
Bagaimana indera spiritual kita mulai kehilangan perannya dalam kehidupan sehari-hari. Disaat dengan indera inilah kita bisa menemukan kebahagiaan yang sejati. Dan kita tidak bisa menikmatinya disini, kita hanya mencari dan meraba untuk merasakan bagaimana rasa kebahagiaan itu sendiri.
Kita hanya bisa mendefinisikan dengan akal yang terbatas. Namun, dengan anugerah nalar kita yang tak terbatas. Setidaknya kita bisa menciptakan petualangan kita sendiri dalam misi mencari kebahagiaan. Kebahagiaan yang kini dianggap sebagai suatu kebodohan karena tak berwujud apa-apa. Meski kebodohan adalah salah satu pintu menuju ketulusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H